Bekerja dan Passionnya
Maret 16, 2015Baca Juga
Dunia kerja merupakan dunia yang penuh kompetisi. Bagi kebanyakan orang, mencari pekerjaan selepas kuliah jauh lebih sulit ketimbang menyelesaikan studi tepat waktu. Penyelesaian studi, terkadang hanya sebatas ketentuan formal yang harus dilalui sebelum melangkahkan kaki ke dunia nyata. Sementara pada realitasnya, indeks prestasi yang diperoleh selepas masa kuliah tidak banyak membantu untuk mengatasi rasa-rasa pengangguran.
Mungkin, kalimat “Selamat menambah jumlah pengangguran,” yang ditujukan bagi mahasiswa yang telah tamat bukanlah isapan jempol belaka atau sekadar gurauan iseng. Para sarjanawan atau sarjanawati sejatinya sudah menyadari kelanjutan mereka. Selepas kuliah, mau kemanakah kita?
Pertanyaan“Kapan wisuda?” ternyata dilanjutkan lagi dengan pertanyaan, “Sudah kerja apa sekarang?” Pertanyaan ini, menurut teman-teman kebanyakan, jauh lebih menohok. Serius! Demi menghindarinya, beberapa orang rela “melarikan diri” dengan melanjutkan studinya ke program Magister.
Hal semacam ini, saya merasainya sendiri. Meskipun secara seremoni saya belum dinyatakan sebagai alumnus, namun secara teknis, saya bukan lagi mahasiswa di jurusan Matematika. Saya masih punya alibi sebagai “mahasiswa” jika dikenai pertanyaan tentang pekerjaan. Pikiran akan melanglang buana, memikirkan kelanjutan dari status sarjana yang bakal melekat selamanya. Saya tak pernah kepikiran menyematkannya kepada nama.
Yah, soal pekerjaan memang yang paling utama. Bahkan, bagi sebagian orang, akar dari pendidikan itu sendiri adalah demi memperoleh pekerjaan. Ujung-ujungnya pekerjaan, bukan? Lantas, ketika pendidikan telah dilalui, apakah pekerjaan itu terjamin? Jelasnya, tidak.
Ternyata untuk memperoleh pekerjaan, dibutuhkan keterampilan (skill) yang memadai. Indeks prestasi tidak menjadi jaminan bahwa pekerjaan akan menghampiri begitu saja. Jurusan semasa kuliah pun tak pernah mengarahkan bahwa pekerjaan kelak bisa linear dengan background ilmu yang dimiliki.
"Berapa nilai IPK-mu?" bukan menjadi pertanyaan pamungkas di kala para sarjana mencari pekerjaan. Para pencari kerja justru mengabaikan tentang indeks prestasi itu dan mengajukan pertanyaan lain, "Keterampilan apa yang kau miliki?"
Banyak diantara teman-teman sejurusan saya yang berprofesi di luar bidangnya sebagai tenaga pendidik. Ada yang bekerja di bank, marketing suatu perusahaan, wartawan, sales, hingga mendirikan perusahaan sendiri. Padahal, semenjak kuliah, kami hanya diajarkan tentang “bagaimana menjadi guru yang baik dan benar”. Berbahagialah mahasiswa yang masih tetap memegang teguh amanat mendidik hingga lepas kuliah.
Keterampilan-keterampilan di luar “mengajar” itu memang diperoleh secara autodidak. Masing-masing memiliki minat dan passion yang ingin dikembangkan. Seperti halnya saya, yang lebih tertarik ke bidang kepenulisan dan jurnalistik. Sementara keterampilan mata kuliah, mungkin, hanya menjadi bumbu-bumbu demi memuluskan jalan menuju gerbang kelulusan.
Apa yang diinginkan dan keterampilan apa yang dimiliki, harus dijalankan secara simultan. Kalau para sarjana tak punya “kelebihan” dibanding yang lainnya, kelak para sarjana hanya akan menempati urutan ke sekian dari pengangguran-pengangguran terpuruk di negeri ini. Akh, saya tak ingin menjadi salah satunya. Sungguh beruntung teman-teman saya yang kini sudah menemukan passion-nya dan mengembangkannya dalam suatu pekerjaan. Baik dalam bidang mengajar, maupun di bidang lain.
Pada dasarnyaa, mengasah keterampilan adalah hal terpenting. Beberapa sarjana terkadang bingung hendak menjawab apa, di kala ditawari lowongan pekerjaan.
"Masih belum dapat kerja ya?"
"Iya."
"Memangnya mau bekerja apa?"
"Hm..apa saja. Daripada pusing ka ini ndak ada dikerja,"
"Kenapa ndak coba melamar di bank?" saran saya ngasal. Biasanya, tempat pelarian kerja yang paling populer, ya, bank.
"Sudah ka masukkan lamaran. Tapi masih nunggu balasan," jawab teman. Masih saja dengan wajah menggalau jika ditanyai terkait kerjaan.
Soal kehidupan di dunia nyata memang selalu menjadi buah pemikiran. Selepas kuliah, kita sudah harus mulai memikirkan diri sendiri. Kita dipaksa membangun jalan hidup sendiri, tanpa menyusahkan orang tua dan keluarga. Bagaimana caranya bertahan hidup, hingga bagaimana caranya menghidupi orang lain. Tentang menghidupi orang lain, ada taraf yang berbeda antara “sebelum” dan “setelah” menikah.
Pun, saya memilih pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang ingin saya geluti. Tidak sekadar “asal-kerja” demi menghilangkan label pengangguran. Karena bekerja, seyogyanya, menjadi tujuan hidup yang harus dipikirkan matang-matang.
Dan, kalau kata film Bollywood, ABCD (Anybody Can Dance);
Seminggu belakangan, saya sedang memikirkan membangun sebuah jaringan usaha dengan beberapa teman. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penyedia layanan jasa, yang akan menghubungkan banyak perusahaan lainnya. Saya bermimpi membangun perusahaan ini, sembari tetap bekerja mengikuti passion pribadi.
Beruntung, di tengah-tengah kami sementara merumuskannya di kepala, beberapa jalan sudah mulai terbuka. Saya mensyukurinya. Untuk saat ini, learning by doing satu-satunya menjadi pedoman kami.
Memang, memulai sesuatu adalah pekerjaan tersulit. Apalagi terkait memulai sebuah usaha. Namun saya percaya, setelah berhasil memulai sesuatu, maka kelak perjalanan akan terasa lebih ringan. Seperti kata teman saya, yang didapatinya dari chat facebook,
Selamat datang, dunia kerja! :)
Mungkin, kalimat “Selamat menambah jumlah pengangguran,” yang ditujukan bagi mahasiswa yang telah tamat bukanlah isapan jempol belaka atau sekadar gurauan iseng. Para sarjanawan atau sarjanawati sejatinya sudah menyadari kelanjutan mereka. Selepas kuliah, mau kemanakah kita?
Pertanyaan“Kapan wisuda?” ternyata dilanjutkan lagi dengan pertanyaan, “Sudah kerja apa sekarang?” Pertanyaan ini, menurut teman-teman kebanyakan, jauh lebih menohok. Serius! Demi menghindarinya, beberapa orang rela “melarikan diri” dengan melanjutkan studinya ke program Magister.
Hal semacam ini, saya merasainya sendiri. Meskipun secara seremoni saya belum dinyatakan sebagai alumnus, namun secara teknis, saya bukan lagi mahasiswa di jurusan Matematika. Saya masih punya alibi sebagai “mahasiswa” jika dikenai pertanyaan tentang pekerjaan. Pikiran akan melanglang buana, memikirkan kelanjutan dari status sarjana yang bakal melekat selamanya. Saya tak pernah kepikiran menyematkannya kepada nama.
Yah, soal pekerjaan memang yang paling utama. Bahkan, bagi sebagian orang, akar dari pendidikan itu sendiri adalah demi memperoleh pekerjaan. Ujung-ujungnya pekerjaan, bukan? Lantas, ketika pendidikan telah dilalui, apakah pekerjaan itu terjamin? Jelasnya, tidak.
Ternyata untuk memperoleh pekerjaan, dibutuhkan keterampilan (skill) yang memadai. Indeks prestasi tidak menjadi jaminan bahwa pekerjaan akan menghampiri begitu saja. Jurusan semasa kuliah pun tak pernah mengarahkan bahwa pekerjaan kelak bisa linear dengan background ilmu yang dimiliki.
"Berapa nilai IPK-mu?" bukan menjadi pertanyaan pamungkas di kala para sarjana mencari pekerjaan. Para pencari kerja justru mengabaikan tentang indeks prestasi itu dan mengajukan pertanyaan lain, "Keterampilan apa yang kau miliki?"
Banyak diantara teman-teman sejurusan saya yang berprofesi di luar bidangnya sebagai tenaga pendidik. Ada yang bekerja di bank, marketing suatu perusahaan, wartawan, sales, hingga mendirikan perusahaan sendiri. Padahal, semenjak kuliah, kami hanya diajarkan tentang “bagaimana menjadi guru yang baik dan benar”. Berbahagialah mahasiswa yang masih tetap memegang teguh amanat mendidik hingga lepas kuliah.
Sumber: googling |
Keterampilan-keterampilan di luar “mengajar” itu memang diperoleh secara autodidak. Masing-masing memiliki minat dan passion yang ingin dikembangkan. Seperti halnya saya, yang lebih tertarik ke bidang kepenulisan dan jurnalistik. Sementara keterampilan mata kuliah, mungkin, hanya menjadi bumbu-bumbu demi memuluskan jalan menuju gerbang kelulusan.
Apa yang diinginkan dan keterampilan apa yang dimiliki, harus dijalankan secara simultan. Kalau para sarjana tak punya “kelebihan” dibanding yang lainnya, kelak para sarjana hanya akan menempati urutan ke sekian dari pengangguran-pengangguran terpuruk di negeri ini. Akh, saya tak ingin menjadi salah satunya. Sungguh beruntung teman-teman saya yang kini sudah menemukan passion-nya dan mengembangkannya dalam suatu pekerjaan. Baik dalam bidang mengajar, maupun di bidang lain.
Pada dasarnyaa, mengasah keterampilan adalah hal terpenting. Beberapa sarjana terkadang bingung hendak menjawab apa, di kala ditawari lowongan pekerjaan.
"Masih belum dapat kerja ya?"
"Iya."
"Memangnya mau bekerja apa?"
"Hm..apa saja. Daripada pusing ka ini ndak ada dikerja,"
"Kenapa ndak coba melamar di bank?" saran saya ngasal. Biasanya, tempat pelarian kerja yang paling populer, ya, bank.
"Sudah ka masukkan lamaran. Tapi masih nunggu balasan," jawab teman. Masih saja dengan wajah menggalau jika ditanyai terkait kerjaan.
Soal kehidupan di dunia nyata memang selalu menjadi buah pemikiran. Selepas kuliah, kita sudah harus mulai memikirkan diri sendiri. Kita dipaksa membangun jalan hidup sendiri, tanpa menyusahkan orang tua dan keluarga. Bagaimana caranya bertahan hidup, hingga bagaimana caranya menghidupi orang lain. Tentang menghidupi orang lain, ada taraf yang berbeda antara “sebelum” dan “setelah” menikah.
Pun, saya memilih pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang ingin saya geluti. Tidak sekadar “asal-kerja” demi menghilangkan label pengangguran. Karena bekerja, seyogyanya, menjadi tujuan hidup yang harus dipikirkan matang-matang.
“Kalau mau bekerja ikhlas, maka bekerjalah sesuai passion. Kau akan menemukan, sejauh mana kebahagiaan kerja, tidak ditentukan oleh banyaknya penghasilan kerja.”
Dan, kalau kata film Bollywood, ABCD (Anybody Can Dance);
"Jika kau tak suka dengan pekerjaanmu, maka kau takkan bisa adil. Kau harus melakukan hal yang kau suka." --ABCD, film--
***
Seminggu belakangan, saya sedang memikirkan membangun sebuah jaringan usaha dengan beberapa teman. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penyedia layanan jasa, yang akan menghubungkan banyak perusahaan lainnya. Saya bermimpi membangun perusahaan ini, sembari tetap bekerja mengikuti passion pribadi.
Beruntung, di tengah-tengah kami sementara merumuskannya di kepala, beberapa jalan sudah mulai terbuka. Saya mensyukurinya. Untuk saat ini, learning by doing satu-satunya menjadi pedoman kami.
Memang, memulai sesuatu adalah pekerjaan tersulit. Apalagi terkait memulai sebuah usaha. Namun saya percaya, setelah berhasil memulai sesuatu, maka kelak perjalanan akan terasa lebih ringan. Seperti kata teman saya, yang didapatinya dari chat facebook,
“Tidak ada sesuatu terlalu mudah seperti yang diinginkan. Akan tetapi, tak ada pula sesuatu yang terlalu sulit seperti yang ditakutkan.”
Selamat datang, dunia kerja! :)
--Imam Rahmanto--
2 comments
Selamat datang Imam di dunia kerja.. dunia penuh target dan kejutan-kejutan... "bersaing dengan diri sendiri" itu arti persaingan sesungguhnya :)
BalasHapusHa....mari bekerja ikhlas, bekerja bahagia. :D
Hapus