Membaca, ya Membaca!

Oktober 21, 2014

Baca Juga

“Jangan kebanyakan baca buku. Gara-gara itu, kamu kehilangan kesempatan untuk mencari pacar,” timpal salah seorang teman setiap kali melihat saya sedang berkutat dengan sebuah buku.

Hah! Darimana kecocokannya? Membaca ya membaca. Nyari pacar ya nyari pacar.

Apa yang salah dengan membaca? Tak ada. Sepanjang waktu dan kehidupan, tak seorang pun yang menganggap membaca itu kebiasaan buruk. Mungkin dianggap kebiasaan buruk jikalau sudah sampai merusak mata. Ada tuh ya orang yang saking seringnya membaca, sampai lupa kalau matanya sudah nempel di depan permukaan buku.

Persoalan punya pacar atau tidak, bukan dilihat dari kebiasaan membaca, bukan? Saya membaca, karena saya butuh. Saya membaca, karena merasa kurang banyak tahu tentang banyak hal. Saya membaca bukan sekadar mengisi waktu luang atau bahkan sekadar membuang-buang waktu.

Sumber gambar: Facebook
Justru, dengan membaca, saya bisa melihat dunia dari kaca-mata yang berbeda. Dengan membaca, kita tahu bagaimana bersikap sekaligus menambah kekayaan imajinasi kita (dan kosa kata). Pekerjaan membaca cenderung didekatkan dengan “kutu buku”, culun, cupu, dan tidak-keren lainnya. Akh, lagi-lagi paradigma yang ditanamkan media televisi sudah begitu mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, jika ingin mengamati secara luas, ada banyak kok orang-orang keren di luar sana yang juga senang membaca.

Apa yang dikatakan teman saya itu, persis dengan apa yang selalu diucapkan oleh bapak saya.

“Pengalaman itu tidak dipelajari dari buku. Pengalaman ya dijalani,” kata bapak.

Akh, orang-orang zaman dulu masih belum dilimpahi banyak literasi seperti zaman kini. Memang benar bahwa pengalaman harus dijalani. Namun, pengalaman hanya bisa dilalui sepanjang kita hidup, yang sering kali tidak mencapai usia seabad penuh. Maka dibutuhkan pula kita menimba ilmu dari orang lain, atau hal lain. Alternatif termudah, dengan membaca pengalaman orang lain di buku atau literasi lainnya. Kalaupun bukan pengalaman nyata, paling tidak pengalaman yang “diprediksi” oleh orang lain (selaku penulisnya) akan terjadi di dunia nyata.

Bagi saya, membaca itu serupa meneguk Cappuccino. Saya mencanduinya. Saya memacarinya. Ehh. Mungkin seperti para perokok, yang tak pernah bisa lepas dari kretek-nya. Rasanya kurang maknyus kalau saya tidak membaca buku barang seminggu saja.

Saya tak punya banyak koleksi buku, namun saya punya cukup banyak “koleksi” teman. Dari mereka lah saya bisa meminjam buku secara cuma-cuma. Ada berbagai jenis buku. Mulai dari novel lokal, hingga novel terjemahan. Novel naratif, hingga novel inspiratif. Novel melankolis hingga novel sadis. Ketimbang saya harus membaca buku diktat kuliah.

Kelebihannya membaca novel dimana? Di samping memberikan hiburan (film di alam bawah sadar), penulis yang cerdas akan menyisipkan ilmu pengetahuan maupun filosofi hidup di dalamnya. Romansa dan drama, hanya bumbu yang mengiringi pesan utamanya.

Cara terbaik untuk mendidik tanpa menggurui adalah dengan bercerita. Itulah mengapa, orang tua di zaman dulu mendidik anaknya dengan membacakan dongeng sebelum tidur. Lantas, kemana kebiasaan itu kini? Nyaris punah! Anak-anak sekarang lebih senang menonton tivi sampai ketiduran. Dan film-filmnya yang sekelas GGS = Ganteng-ganteng Serigala = Ganteng-ganteng SetanG = Gudang Garam Surya. Euhhh...

Olehnya itu, saya lebih senang membaca (atau mendengar) cerita. Tak peduli novel ataupun komik. Setiap minggu saya bahkan menjadi pembaca setia manga One Piece, Naruto, Bleach, dan Fairy Tail. Pun, kelak, ketika sudah berkeluarga, saya ingin mengajarkan budi pekerti hidup pada anak-anak melalui dongeng-dongeng sebelum tidur. It’s called family time…

Saya mempelajari banyak hal dari membaca buku. Saya jadi tahu bahwa dunia tak benar-benar selebar daun kelor saja. Saya jadi tahu dunia mana saja yang menarik untuk dikunjungi. Saya jadi tahu bermacam-macam karakter manusia. Dan untuk bekal menulis, saya memperbaharui setiap perbendaharaan kosa-kata saya. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. 

Meski, kata teman, saya terlalu banyak berkhayal sebagai akibat dari kebanyakan membaca buku. Saya justru memikirkan “ke-tak-biasa-an” atas setiap hal yang saya jalani. Kreativitas dibangun atas pemikiran-pemikiran yang tak terpikirkan orang lain. Percabangan neuron di otak saya malah bertambah! Yeah, imajinasi!

“Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited to all we now know and understand, while imagination embraces the entire world, and all there ever will be to know and understand.” --Albert Einstein

“Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Pengetahuan hanya terbatas pada apa yang kita ketahui dan pahami. Sementara imajinasi meliputi seluruh jagat raya, dan segala hal yang akan kita ketahui dan pahami.”

Lagi-lagi, saya harus menekankan, membaca buku tak erat kaitannya dengan membaca hati! Dalam teori kombinasi Matematika, keduanya berlaku saling-lepas. Oleh karena itu, membaca ya membaca. Persoalan tentang hingga saya yang hingga kini masih dalam status jomblo single, itu perkara pribadi dong! Karena sejujurnya saya masih terlalu hati-hati dan antipati.

Kelak, saya akan mencocokkan diri dengan orang-orang yang gemar membaca. Mereka yang tidak suka membaca, takkan mampu membaca pikiran saya. Karena sebenar-benarnya perasaan dan pikiran seorang penulis, adalah yang dituangkan lewat tulisannya…


--Imam Rahmanto--


P.s: Tulisan ini diterbitkan pula di Koran Tempo Makassar (Edisi 27 Desember 2014) pada rubrik LITERASI.


You Might Also Like

2 comments

  1. Hahaha. Sampai dihubungkan sama status jomblo, coba.. :P
    Tapi aku setuju. Membaca itu karena butuh. Dan sampai sekarang aku masih belajar baca buku fiksi. Eh, iya, dua bulan ini, budgetku untuk buku (termasuk beli majalah dan langganan koran) sampai jebol... :(

    BalasHapus
  2. @Dian Kurniati Aku milih berhemat. Buku, bisa minjem sama temen. Koran, bisa baca di redaksinya Profesi. :D

    BalasHapus