Bukan Emas
Oktober 17, 2014Baca Juga
Saya akhirnya paham bagaimana sebentuk kekecewaan itu. Amat dekat dengan kemarahan. Hanya dipisahkan oleh beberapa pintal emosi kesabaran.
Dulu, dalam film-film horor yang saya tonton semenjak kecil, saya tak habis pikir, bagaimana mungkin orang-orang yang bukan “dedengkot” pembunuhan harus menerima hukuman yang sama atas pembunuhan yang tidak mereka lakukan.
Hantu yang bergentayangan, biasanya wanita, menuntut balas atas kematiannya. Hanya saja, ia tidak hanya meneror para pelaku atas kematiannya. Akan tetapi, teman-temannya, yang menurut saya tak bersalah, juga menjadi korban keganasan “alam lain” itu.
Memuncak pada anti-klimaks film bertemakan “pembalasan dari kubur”, kita para penonton biasanya akan disuguhkan alasan pembalasan dendam itu. Alur cerita dimundurkan ke masa silam, dimana si hantu masih hidup sebagai manusia biasa. Dan alasan atas terornya kepada teman-temannya sederhana: karena teman-temannya itu hanya diam menyaksikan tindakan kejahatan yang dilakukan pada dirinya. Mereka bisa mencegahnya, namun mereka hanya terpaku. Mereka mengetahui, namun mereka menutupinya. Diam.
Tak masuk akal, bukan? Hanya gegara “diam” mereka juga harus dibunuh satu-satu oleh si empunya dendam.
Akh, bagi saya, refleksi tersebut dalam realita memang sebenar-benarnya terjadi. Film itu hanya perumpamaan bahwa “diam” nyatanya juga bukan hal yang benar-benar pantas dilakukan. Peribahasa “diam adalah emas” hanya mitos belaka. Bagian mana di dunia ini yang memberikan best value untuk orang-orang yang hanya bisa diam?
Lihatlah para tokoh-tokoh besar di luar sana, para penemu hingga pemimpin besar. Mereka adalah para orator ulung. Pembicara. Bahkan, untuk menjadi seorang pemimpin yang disegani, seorang King George VI harus menghilangkan sikap gagapnya, dengan menjalani terapi kepada Lionel Louge.
Saya kemudian mulai merasakan sendiri, bagaimana menganggap orang lain bersalah atas diamnya itu. Bagaimana kekecewaan dimulai atas pengharapan. Bagaimana kebenaran disembunyikan dalam keheningan. Dan ketika orang-orang lain, yang tak termaktub sebagai “pelaku”, merasa dibenci atas hal-hal yang tak diketahuinya, mereka seharusnya mulai paham bagaimana menyuarakannya. Bukankah kita harus menyuarakan?
Seperti analogi film-film hantu tadi, tidak hanya pelaku pembunuhan yang akan diteror si hantu. Mereka yang mendiamkan tindakan-tak-benar itu pun akan memperoleh balasan serupa. Karena sejatinya luka fisik hanya berlangsung sementara. Namun luka batin akan berlangsung selamanya. Luka yang disebabkan diamnya orang-orang dipercaya, yang semestinya mampu menolong dan bersuara. (*)
Dulu, dalam film-film horor yang saya tonton semenjak kecil, saya tak habis pikir, bagaimana mungkin orang-orang yang bukan “dedengkot” pembunuhan harus menerima hukuman yang sama atas pembunuhan yang tidak mereka lakukan.
Hantu yang bergentayangan, biasanya wanita, menuntut balas atas kematiannya. Hanya saja, ia tidak hanya meneror para pelaku atas kematiannya. Akan tetapi, teman-temannya, yang menurut saya tak bersalah, juga menjadi korban keganasan “alam lain” itu.
Memuncak pada anti-klimaks film bertemakan “pembalasan dari kubur”, kita para penonton biasanya akan disuguhkan alasan pembalasan dendam itu. Alur cerita dimundurkan ke masa silam, dimana si hantu masih hidup sebagai manusia biasa. Dan alasan atas terornya kepada teman-temannya sederhana: karena teman-temannya itu hanya diam menyaksikan tindakan kejahatan yang dilakukan pada dirinya. Mereka bisa mencegahnya, namun mereka hanya terpaku. Mereka mengetahui, namun mereka menutupinya. Diam.
Tak masuk akal, bukan? Hanya gegara “diam” mereka juga harus dibunuh satu-satu oleh si empunya dendam.
Akh, bagi saya, refleksi tersebut dalam realita memang sebenar-benarnya terjadi. Film itu hanya perumpamaan bahwa “diam” nyatanya juga bukan hal yang benar-benar pantas dilakukan. Peribahasa “diam adalah emas” hanya mitos belaka. Bagian mana di dunia ini yang memberikan best value untuk orang-orang yang hanya bisa diam?
Lihatlah para tokoh-tokoh besar di luar sana, para penemu hingga pemimpin besar. Mereka adalah para orator ulung. Pembicara. Bahkan, untuk menjadi seorang pemimpin yang disegani, seorang King George VI harus menghilangkan sikap gagapnya, dengan menjalani terapi kepada Lionel Louge.
“If I am King, where is my power? Can I form a government? Levy a tax?Declare a war? No! And yet I am the seat of all authority because they think that when I speak, I speak for them. But I can’t speak.” --King’s Speech, film
Saya kemudian mulai merasakan sendiri, bagaimana menganggap orang lain bersalah atas diamnya itu. Bagaimana kekecewaan dimulai atas pengharapan. Bagaimana kebenaran disembunyikan dalam keheningan. Dan ketika orang-orang lain, yang tak termaktub sebagai “pelaku”, merasa dibenci atas hal-hal yang tak diketahuinya, mereka seharusnya mulai paham bagaimana menyuarakannya. Bukankah kita harus menyuarakan?
Seperti analogi film-film hantu tadi, tidak hanya pelaku pembunuhan yang akan diteror si hantu. Mereka yang mendiamkan tindakan-tak-benar itu pun akan memperoleh balasan serupa. Karena sejatinya luka fisik hanya berlangsung sementara. Namun luka batin akan berlangsung selamanya. Luka yang disebabkan diamnya orang-orang dipercaya, yang semestinya mampu menolong dan bersuara. (*)
--Imam Rahmanto--
0 comments