Kepergian
September 09, 2014Baca Juga
Ada banyak “kepergian” yang saya amati seminggu belakangan ini. Tentang kepergian, selalu hal yang memilukan. Mengingatnya, selalu menyajikan ingatan-ingatan yang menyesakkan dada. Meski hanya sebuah kenangan, ia menjadi bagian dari puzzle hidup yang menghubungkan setiap orang.
Kepergian-kepergian itu menyisakan banyak pertanyaan, hingga pertentangan. Di satu sisi, setiap orang tak ingin ditinggalkan. Namun di sisi lain, apa daya, Tuhan selalu Maha Tahu atas segala kuasanya. Hanya kelahiran dan kematian yang tak bisa diketahui datangnya, menjadi rahasia Langit hingga akhir zaman.
Kepergian salah seorang kepala pejabat pemerintahan di kota ini, yang pernah menyambangi kegiatan kami. Kepergian ayah tercinta salah seorang teman SMA saya. Pun, kepergian ayah salah seorang kakak senior saya. Segalanya menggoreskan “luka” tersendiri. Apalagi kita, manusia, tahu, bahwa kepergian semacam itu tak akan pernah lagi mengembalikan wujudnya secara nyata. Berbeda halnya dalam pengertian “pergi”nya seorang kekasih yang diceritakan oleh salah seorang sahabat saya.
Baru-baru ini, saya juga menyaksikan sebuah “kepergian” dalam film Hollywood, The Amazing Spider-Man 2. Kekasih Peter Parker, yang juga merupakan superhero "manusia laba-laba", meninggal dunia lantaran kecelakaan yang dialaminya sewaktu menyelamatkan kota bersama kekasihnya. Kepergian Gwen Stacy begitu memukul mental seorang Spider-Man, yang seharusnya menjadi “harapan” orang-orang di kotanya. Hingga dua tahun lamanya, ia tak pernah lagi muncul sebagai Spider-Man. Ia terpuruk dan merasa bersalah atas kepergian orang tercintanya. Betapa penyesalan selalu menjadi bagian akhir yang tak pernah kita ketahui kapan datangnya.
Betapa menyikapi sebuah kepergian membutuhkan waktu. Cukup lama. Sebagaimana yang dikatakan orang, “Waktu akan menyembuhkan luka.” Hanya saja, orang-orang tak pernah sadar bahwa kita sendiri bisa menyembuhkan lebih cepat dari waktu. Dan Bibi May sadar akan hal itu…
Kepergian, seperti apapun bentuknya, selalu menyisakan luka. Sementara kita semestinya tahu cara menyisihkan luka. Tak ada cara untuk melupakan. Bahkan semakin keras melupakan, semakin kuat pula ingatan akan datang. Satu-satunya cara, adalah merelakan. Melapangkan dada.
Malam ini adalah purnama. Yah, purnama. Saya melihatnya tepat di atas kepala. Dari atas atap rumah, saya terbiasa memandanginya. Akh, tapi jangan pernah membayangkan saya yang sedang memikirkan dan merindukan seseorang seketika memandang bulan. Yah, meskipun bulan senang sekali meributkan kerinduan atas orang-orang yang telah pergi. Sudah lama kerinduan itu tak pernah mencapai cakrawalanya, hingga hanya melayang sebatas awang-awang.
Purnama itu… hanya terlalu indah untuk dilewatkan. Purnama itu… sama sekali tak ada kaitannya dengan manusia serigala, seperti yang selalu direpresentasikan oleh film-film luar negeri hingga mitos-mitos nenek moyang. Saya justru berpikir, cerita-cerita demikian dikembangkan dan ditanamkan untuk mencegah manusia mensyukuri setiap keajaiban alam yang berlaku. Sama halnya dengan yang membedakan antara “malam Jumat” dan “malam Minggu”. Ada isu agama yang berkembang di dalamnya.
“Itu bulan, kan?” tanya seorang teman sembari menunjuk ke arah langit siang. Ada siluet bulan yang tertinggal di siang bolong dan amat jelas tersingkap. Langit sedang cerah. Awan-awan pergi menyingkap redup sinarnya.
“Padahal saya pernah dengar, entah dimana, bahwa bulan dan matahari tidak akan pernah bertemu. Tapi, bukannya sekarang bulan sedang bertemu dengan matahari ya?” lanjutnya lagi.
“Sepertinya begitu. Mungkin, maksudnya bertemu, bersinar bersamaan. Cahaya bulan kan berasal dari matahari. Jadi, tidak mungkin bersinar bersamaan. Harus saling mengisi,” jawab saya seadanya.
“Purnama, sebentar lagi,” lirih saya.
Bulat purnama yang sempurna, merepresentasikan bulatnya mata langit di tengah kelam gulita. Dan memandangnya di tengah malam, selalu memunculkan kedamaian yang berdesir di setiap hati manusia. Bukankah setiap keindahan harus diamati dan disyukuri? Dan purnama itu hadir malam ini, tepat di atas kepala…
Kepergian-kepergian itu menyisakan banyak pertanyaan, hingga pertentangan. Di satu sisi, setiap orang tak ingin ditinggalkan. Namun di sisi lain, apa daya, Tuhan selalu Maha Tahu atas segala kuasanya. Hanya kelahiran dan kematian yang tak bisa diketahui datangnya, menjadi rahasia Langit hingga akhir zaman.
Kepergian salah seorang kepala pejabat pemerintahan di kota ini, yang pernah menyambangi kegiatan kami. Kepergian ayah tercinta salah seorang teman SMA saya. Pun, kepergian ayah salah seorang kakak senior saya. Segalanya menggoreskan “luka” tersendiri. Apalagi kita, manusia, tahu, bahwa kepergian semacam itu tak akan pernah lagi mengembalikan wujudnya secara nyata. Berbeda halnya dalam pengertian “pergi”nya seorang kekasih yang diceritakan oleh salah seorang sahabat saya.
Baru-baru ini, saya juga menyaksikan sebuah “kepergian” dalam film Hollywood, The Amazing Spider-Man 2. Kekasih Peter Parker, yang juga merupakan superhero "manusia laba-laba", meninggal dunia lantaran kecelakaan yang dialaminya sewaktu menyelamatkan kota bersama kekasihnya. Kepergian Gwen Stacy begitu memukul mental seorang Spider-Man, yang seharusnya menjadi “harapan” orang-orang di kotanya. Hingga dua tahun lamanya, ia tak pernah lagi muncul sebagai Spider-Man. Ia terpuruk dan merasa bersalah atas kepergian orang tercintanya. Betapa penyesalan selalu menjadi bagian akhir yang tak pernah kita ketahui kapan datangnya.
Bibi May : Kau tahu, ini lucu, aku juga sedang..,..
Bibi May : Aku sedang membersihkan tempat ini, mengaturnya kembali, Dan memasukkan barang milik Paman Ben ke dalam kotak..,..
Bibi May : Anehnya, semakin berat kotaknya, semakin Bibi merasa lega.
Peter : Bibi membuang barang milik Paman?
Bibi May : Tidak...
Bibi May : Tidak, tidak. Aku tak bisa melakukannya. Ini bagian dariku. Aku hanya, menemukan tempat yang lebih baik untuk ini. Aku ingin melihatnya untuk terakhir kali. Dan akan kutaruh di tempat semestinya…
Betapa menyikapi sebuah kepergian membutuhkan waktu. Cukup lama. Sebagaimana yang dikatakan orang, “Waktu akan menyembuhkan luka.” Hanya saja, orang-orang tak pernah sadar bahwa kita sendiri bisa menyembuhkan lebih cepat dari waktu. Dan Bibi May sadar akan hal itu…
Kepergian, seperti apapun bentuknya, selalu menyisakan luka. Sementara kita semestinya tahu cara menyisihkan luka. Tak ada cara untuk melupakan. Bahkan semakin keras melupakan, semakin kuat pula ingatan akan datang. Satu-satunya cara, adalah merelakan. Melapangkan dada.
“Aku tahu rasanya mengucapkan selamat tinggal. Tapi kita akan membawa kenangan satu sama lain, ke dalam perjalanan hidup kita selanjutnya. Untuk mengingatkan diri kita sebenarnya, dan akan menjadi apa kita.” --Gwen Stacy, dalam pidato perpisahan sekolahnya--
Peter Parker dan Gwen Stacy. |
***
Malam ini adalah purnama. Yah, purnama. Saya melihatnya tepat di atas kepala. Dari atas atap rumah, saya terbiasa memandanginya. Akh, tapi jangan pernah membayangkan saya yang sedang memikirkan dan merindukan seseorang seketika memandang bulan. Yah, meskipun bulan senang sekali meributkan kerinduan atas orang-orang yang telah pergi. Sudah lama kerinduan itu tak pernah mencapai cakrawalanya, hingga hanya melayang sebatas awang-awang.
Purnama itu… hanya terlalu indah untuk dilewatkan. Purnama itu… sama sekali tak ada kaitannya dengan manusia serigala, seperti yang selalu direpresentasikan oleh film-film luar negeri hingga mitos-mitos nenek moyang. Saya justru berpikir, cerita-cerita demikian dikembangkan dan ditanamkan untuk mencegah manusia mensyukuri setiap keajaiban alam yang berlaku. Sama halnya dengan yang membedakan antara “malam Jumat” dan “malam Minggu”. Ada isu agama yang berkembang di dalamnya.
“Itu bulan, kan?” tanya seorang teman sembari menunjuk ke arah langit siang. Ada siluet bulan yang tertinggal di siang bolong dan amat jelas tersingkap. Langit sedang cerah. Awan-awan pergi menyingkap redup sinarnya.
“Padahal saya pernah dengar, entah dimana, bahwa bulan dan matahari tidak akan pernah bertemu. Tapi, bukannya sekarang bulan sedang bertemu dengan matahari ya?” lanjutnya lagi.
“Sepertinya begitu. Mungkin, maksudnya bertemu, bersinar bersamaan. Cahaya bulan kan berasal dari matahari. Jadi, tidak mungkin bersinar bersamaan. Harus saling mengisi,” jawab saya seadanya.
“Purnama, sebentar lagi,” lirih saya.
Bulat purnama yang sempurna, merepresentasikan bulatnya mata langit di tengah kelam gulita. Dan memandangnya di tengah malam, selalu memunculkan kedamaian yang berdesir di setiap hati manusia. Bukankah setiap keindahan harus diamati dan disyukuri? Dan purnama itu hadir malam ini, tepat di atas kepala…
--Imam Rahmanto--
2 comments
pertemuan dan perpisahan adalah biasa dihidup ini memang perpisahan yang menyakitkan.
BalasHapus@Tokopenjual Hmm...dan kita mesti bisa merelakan. :)
BalasHapus