Berjalan dan Berpetualanglah

Juni 08, 2014

Baca Juga

Sumber: inalicious.wordpress.com
Sudah sejak lama buku Titik Nol, Makna Sebuah Perjalanan karya Agustinus Wibowo ada di tangan saya. Hasil minjam-nodong milik teman. Saya sampai harus mengulangi bacaan yang belum setengahnya selang dua minggu kemudian saya "menelantarkan" buku ini. Hanya saja, (mungkin) saya tidak terpikir untuk menghabiskan buku yang berjumlah 556 halaman itu. Kalau novel sih tidak apa-apa karena saya justru terbawa dalam penampilan gambar bergerak dalam imajinasi saya yang dibumbui klimaks-antiklimaksnya. Belum lagi, di awal-awal saya membaca buku ini, bahasanya agak lugas dan tegas. Jelas-jelas menunjukkan bahwa buku ini adalah buku non-fiksi. Kalau diibaratkan menonton film, kita akan disuguhi "film dokumenter" sepanjang membaca buku ini.

Berbekal label "recommended" yang saya sematkan otomatis di pikiran, saya memaksakan diri untuk membacanya. Sebaik-baik penulis adalah pembaca beragam literasi dan referensi. Meskipun tebalnya tidak mampu dilahap hanya dalam sekali duduk, namun naskah yang dilengkapi beberapa foto dari penulis sendiri sudah cukup menyibakkan rasa "malas-membaca".

Buku ini mengisahkan tentang perjalanan sang penulis sendiri. Perjalanan mengelilingi dunia untuk sampai ke Afrika Selatan. Perjalanannya dalam melewati berbagai rintangan di kehidupan nyata dan menuai makna atas setiap perjalanannya. Perjalanan yang akan membawanya pada kesadaran sebagai seorang makhluk Tuhan.

Bermula, isinya memang agak monoton. Caranya bercerita yang tidak tanggung-tanggung layaknya sebuah jurnal perjalanan. Langsung tanpa banyak basa-basi. Bahkan, untuk menyediakan kutipan maupun paragraf baru atas setiap kutipan percakapan tak akan ditemui di sebagian besar halaman bukunya. Wajar ketika membacanya, saya menganggap buku ini agak berat dan padat. Yah, untuk orang-orang yang lebih suka membaca novel-novel bertemakan "cinta", saya kira buku ini kurang tepat untuk dibaca.

Mungkin, karena latar belakangnya yang pernah menjadi jurnalis untuk kantor berita di Afganistan, Agustinus memiliki karakter bercerita demikian. Namun, untuk penggambaran dan deskripsi yang dituangkannya lewat tulisan ini, membawa kita pada dunia lain genre tulisan feature alias soft news. 

Kisah Agustinus dibuka dengan kedatangannya di Indonesia, sepulangnya dari perjalanan panjang menjelajah negeri. Ibunya mengidap penyakit kanker. Saat ditemui pun sudah dalam keadaan sangat lemah, dan sekarat. Demi berbakti dan menemani masa-masa terakhir ibunya, ia menunda untuk sementara perjalanannya yang belum mencapai tujuan akhirnya di Afrika Selatan. Apalagi ia yang telah jauh dari rumah selama beberapa tahun dan hanya berbagi kabar dengan keluarganya lewat email atau telepon.

Sembari menunggui ibunya, ia membacakan kisah perjalanannya sendiri dalam catatan yang diberi judul Safarnama. 

Selang beberapa halaman, kita akan dibawa melintas waktu. Masa kini - masa ia menunggui ibunya yang sedang terbaring lemah, dan masa lalu - masa ia melakukan perjalanan melintas Tibet, Nepal, India, Pakistan, hingga Afganistan. Kedua masa dibuat penulisnya saling berhubungan. Di tengah perjalanannya menaklukkan wilayah yang dilaluinya, ada pelajaran yang selalu bisa dimaknai. Pelajaran yang dikaitkan penulis secara metafora lewat interaksi dengan ibunya, meskipun secara faktual tak berhubungan langsung. Namun Agustinus mampu menghubungkan sinkronitas kedua masa yang dituangkannya dalam cerita itu. Keren!


“Kita melakukan perjalanan demi mencari sesuatu yang tak ada dalam kehidupan kita yang sesungguhnya. Itulah sebabnya, jenis perjalanan yang disukai banyak orang adalah time-travel, perjalanan menembus waktu.”__hal. 176__

Dalam buku ini, kita akan menyelami kehidupan penulis selama menapaki selangkah demi selangkah daerah tujuannya. Di setiap negara, apakah Tibet, Nepal, India, Pakistan, hingga Afganistan, punya cerita masing-masing dengan pemaknaan yang berbeda-beda. Kita akan dibawa pada penyelaman hidup tentang politik, pendidikan, ideologi, bahkan sampai pada pemahaman agama. Sementara Agustinus sendiri bukan berasal dari agama yang banyak dianut negara-negara yang dilaluinya, Pakistan atau Afganistan.

Kalaulah memang Tuhan yang menciptakan agama, mengapa justru manusia saling bunuh atas nama-Nya? Mengapa sejarah agama-agama malah penuh dengan halaman hitam perang dan tragedi? __hal. 458__

Saya paling suka kisah perjalanan Agustinus ketika sempat menetap dan menjadi relawan di Pakistan, khususnya di kota yang tak nyaris selama dua bulan lamanya tidak diterpa cahaya matahari. Kehidupan Muslim di Pakistan mengajarkannya betapa ramah penduduk disana memperlakukannya sebagai tamu. Di tengah bencana gempa yang selalu siap melanda sekalipun, ia selalu menemukan kehangatan dan senyum dari para penduduknya.

Tentu kita bertanya, mengapa mereka masih bertahan di tempat seperti ini? Bahkan Noorkhan yang punya rumah mewah di Karachi pun tetap pulang kesini. Pasti ada hal luar biasa tentang sebuah kampung halaman. Majid bilang, “Hidup di tempat seperti ini memang sulit. Tapi kesulitan itu bukan untuk dihindari, apalagi disinilah rumah kami.” __hal. 324__

“Tapi kita tidak bisa terus terpaku pada masa lalu, bukan? Hidup harus terus berjalan!” Mubasshar berucap yakin, “Itu artinya bangkit dari kehancuran. Kita tidak bisa terus-menerus memandang diri sebagai korban, karena kita adalah subjek yang bisa menentukan nasib sendiri. Tak ada guna menyesali nasib, menyalahkan bencana. Masa lalu adalah sejarah, tetapi hari ini adalah kenyataan. Kita tak bisa mengubah sejarah, tapi kita bisa berjuang untuk mengubah takdir hari esok.” __hal. 356-357__

Di Pakistan pula, dikisahkan penulis,  kita akan menemukan fakta-fakta yang cukup mencengangkan tentang negara muslim di luar sana. Ada banyak sejarah peradaban yang diajarkan penulis lewat cerita-ceritanya. Asalkan saja tidak bosan membacanya.

Selepas dari Pakistan, ia menetap di Afganistan untuk sementara. Pasalnya, di perjalanan sebelumnya, ia banyak mendapati pencopetan, perampokan, penodongan atau kejahatan-kejahatan lain. Seakan-akan ia memang menjadi mangsa empuk bagi para pelaku kejahatan terhadap orang-orang asing di negeri asing. Di dalam bukunya ini pun tak lepas kita akan mendapati pengalaman penulis ketika kehilangan uang, surat-surat berharganya, hingga dompetnya sekaligus.

Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan yang bisa membiayainya kembali melanjutkan perjalanan. Keberuntungan berpihak padanya. Ia menjadi seorang fotografer di sebuah kantor berita di Afganistan, yang tugasnya sehari-hari harus berhadapan dengan nyawa ratusan orang. Afganistan adalah negara perang. Negara dimana suara bom sudah menjadi hal biasa lazimnya kokok ayam.

Tak masalah seberapa lambat kau berjalan, yang penting jangan sampai kau berhenti. Cita-cita yang tak tergapai memang akan membawa penyesalan, tapi penyesalan itu justru lebih menyiksa kalau kau sudah menyerah sebelum kalah. __hal. 473__

Sungguh, membaca buku ini memberikan kita pemahaman (sekaligus pengalaman) baru tentang dunia di luar sana. Apalagi untuk orang-orang yang juga punya impian sama, menjadi backpacker layaknya Agustinus, mengelilingi banyak tempat di dunia ini. Dunia tak selebar daun kelor, kan? Ternyata masih ada tempat di luar sana yang tak seperti kita bayangkan, hasil suguhan layar kaca.

Bagi saya, buku ini cukup menarik. Cara penulis dalam menuangkan kisah perjalanannya agak berbeda dengan genre travel writing lainnya. Kalau penulis-penulis lainnya lebih banyak menawarkan how-to dalam mengelilingi dunia atau minimal menjelajah tempat ala backpacker, traveler, atau turis, Agustinus justru memberikan pelajaran di setiap perjalanannya. Setiap tempat punya cerita. Namun tidak setiap orang memetik makna dari sana. 

Tentu saja, buku tebal ini tidak sia-sia saya habiskan dalam tiga hari belakangan. Saya terpuaskan membaca sampai akhir. Next, saya tertarik untuk membaca buku pertama dan kedua Agustinus Wibowo yang juga bercerita tentang perjalanan; Selimut Debu dan Garis Batas. 

NB: Selimut Debu, tentang perjalanannya di Afganistan selama menjadi jurnalis perang, dan Garis Batas, tentang perjalanannya di negara-negara Tajikiztan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan.


Memang dalam realita hidup, selalu ada yang terpaksa dikorbankan, perjalanan yang harus dihentikan, impian yang harus dilepaskan. __hal. 470__

Fragmen memori adalah kisah-kisah yang campur aduk, kebetulan yang tak terduga, penderitaan yang tak henti-henti, kejadian-kejadian yang kelihatannya tak penting dan tak nyambung. Tapi sesungguhnya setiap fragmen adalah kepingan berharga dalam perjalanan menyusuri kehidupan. __hal. 525__

Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali. Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang. __hal. 531__




--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

2 comments

  1. Menurutku, Titik Nol adalah buku yang sangat sangat sangat keren. Dalam delapan hari, aku bisa rampung baca buku itu. Dan, dari buku itu, aku semakin yakin, bahwa Afghanistan adalah negara yang sangat sangat sangat seksi :D

    BalasHapus
  2. @Dian KurniatiYeah, Afganistan dengan kondisi mencekamnya... -_-"

    BalasHapus