Jambu Biji

Maret 23, 2014

Baca Juga

Ini masih sekitar 3 minggu-an yang lalu. Saking senang kare-
na buahnya yang matang, saya jadi lupa mengabadikannya.
(Foto: Iam)
Pagi-pagi benar ketika mata saya tiba-tiba terantuk pada buah jambu biji di sebelah rumah saya. Saya baru sadar, buahnya sudah matang dan siap dipetik. Sembari menyelesaikan wudhu dan menanamkan di kepala saya: harus-memetiknya, saya bergegas menunaikan Shalat Subuh yang ketinggalan sejam. Hahaha

Setelah menyeruput sedikit teh-sedikit-susu racikan sendiri, saya segera turun dari rumah dan memilah satu-satu sasaran jambu yang ingin saya petik.

“Jelek, Kak. Buah jambu itu ada ulatnya,” Adik perempuan saya yang baru bangun menimpali aktivitas saya  pagi itu. Ia mencuci mukanya.

Saya tidak mempedulikannya. Buah jambu sebesar dan sematang itu seharusnya sudah pantas untuk dimakan. Warna hijau mudanya menunjukkan bahwa ia siap “dikorbankan”. Akh, dasar saya memang yang lagi kurang kerjaan. 

“Ambil dari bawah saja, Kak, atau manjat sekalian,” usulnya lagi, meskipun sesekali masih tetap memperingati saya.

“Kalau yang itu besar-besar tapi banyak ulatnya. Ada tempatku disana bagus jambunya. Biar kecil tapi dijamin tidak ada ulatnya. Kemarin saya sama teman-teman panen jambu disana,” ujarnya lagi sambil ketawa-ketawa. Anak satu ini, suka nimbrung di setiap aktivitas-kurang-kerjaan saya. Namanya juga adik yang kangen dengan kakaknya. Hehe..

Saya sudah berada di atas pohon yang tingginya tidak lebih dari 4 meter. Permukaannya licin, tapi kuat menopang berat badan saya. Saya jadi ingat semasa kecil dulu. Saking kuatnya kayu pohon seperti ini, kami sering berburu kayunya yang membentuk huruf “Y” hanya untuk dibuat kerangka ketapel. 

Saya melemparkan satu-dua buah ke arah adik saya yang sudah siap menerimanya. Hap! Beberapa jambu sudah agak lunak ketika ditekan dengan ujung jari. “Ini tandanya sudah matang sekali, wajar kalau ada ulatnya,” umpat saya dalam hati.

“Awas loh, Kak, ketahuan orang yang punya,” timpalnya lagi. Semasa kecil saya juga bersama teman-teman kerap kali melempari buah mangga di kebun orang. Kalau jatuh, sudah menjadi hak milik kami. Hahaha…

Karena penasaran dengan kata adik saya, maka saya membelah salah satu jambu biji itu dengan pisau. Alamak! Benar juga kata adik saya. Beberapa jambu biji, apalagi yang sangat lunak kulitnya, digeliati ulat-ulat kecil. Saya jadi jijik memakannya. Tapi, beberapa jambu lainnya masih baik-baik saja.

***

Saya mendapati diri lagi berada di rumah. Benar-benar di rumah. Kemarin, saya memutuskan untuk sementara waktu menjenguk ayah yang masih terbaring sakit di rumah. Apalagi rutinitas bulanan menerbitkan tabloid untuk sementara sudah saya jalankan. Yah, menanti jelang terbit berikutnya…. #fiuhh

Sembari mengingat-ingat beberapa hal yang berlalu dan yang akan datang, saya duduk sendirian di depan teras rumah. Yah, seperti biasa, menikmati secangkir teh panas pagi hari. Di tempat ini, sangat sulit menemukan cappuccino, bahkan sekadar sachet-an. Sedikit berekspresi, saya memanfaatkan bahan yang ada saja; susu kaleng, teh celup, air panas. Yo wis lah…

Meskipun kehadiran saya sebentar, namun memperbaiki adalah hal utama yang ingin saya lakukan. Kepercayaan. Komunikasi. Kedekatan. Keluarga. That’s the point

Mencoba menemukan sedikit inspirasi? Bisa jadi. Merasakan hal-hal baru katanya memang bisa membuat kita menemukan banyak hal. Menurut penelitian, mencoba hal-hal baru akan memberikan satu saraf sambungan baru di saraf-saraf otak. Semakin banyak percabangan saraf di otak, orang akan semakin kreatif. Oleh karena itu, untuk menjadi orang kreatif katanya harus banyak mencoba hal-hal baru.

***

Seharian di rumah, saya juga sedikit demi sedikit harus menggantikan peran ayah. Semenjak ayah divonis dengan penyakitnya itu, saya juga harus mulai memikirkan bagaimana menjadi anak pertama yang baik. Pun, sebagai seorang laki-laki kedua setelah ayah dalam keluarga kami.

Adik perempuan saya sedang mengerjakan produksinya. Haha...wajah pelaku disamarkan atas permintaan pelaku.
(Foto: Iam)
Setiap pulang ke rumah, saya biasanya akan mencari pekerjaan-pekerjaan yang bisa menggantikan ayah. Membuat pelita untuk keperluan pekerjaan sampingan ibu saya. Pelita? Haha…sederhananya alat penerangan untuk padam listrik. Akan tetapi, untuk ibu saya, lilin atau pelita biasanya juga digunakan untuk melaminating manual (entah apa namanya) bungkusan plastik rempeyek dan kerupuk jualannya. Itu loh dengan membakar tipis-tipis tepi bungkusannya hingga melengket satu sama lain. Ada yang mau pesan? Numpang promo loh… Hahahah….. 

Taraaa!! Ini hasil "keisengan" saya.
(Foto: Iam)
Yah, pekerjaan sederhana, tapi ayah saya sudah tidak bisa mengerjakannya lagi. Biarpun bukan anak Teknik, saya mencoba bereksperimen sendiri dengan bahan-bahan yang ada. Apalagi barang-barang onderdil motor dan perangkatnya banyakdisimpan ayah saya. Selain itu, saya juga lebih tenang bekerja tanpa harus “didikte”.

Saya juga menggantikan dinding dapur yang sudah lapuk. Berbekal tripleks yang disimpan ayah, mudah saja bagi saya untuk mempermaknya. Hanya memaku beberapa sisinya dan sedikit insting tukang kayu. Haha…ini semua pekerjaan “bapak-bapak” ya? -_-

Saya hanya berharap, sehari atau dua hari menghabiskan waktu disini untuk meringankan beban ibu dan adik saya. Meskipun ujung-ujungnya, ibu atau ayah terkadang keceplosan menceritakan teman-teman sebaya saya yang kini sudah melepas status mahasiswanya.

“Si A, anaknya Haji B, katanya sudah diwisuda.”

“Itu yang temanmu, orang blablabla, katanya juga sudah diwisuda baru-baru,”

Kalau sudah begitu saya hanya bisa menjawab dengan memendam kesal, “Habis wisuda juga belum tentu dapat kerja, masih harus nyari kan mereka dulu.”

Akh, saya tiba-tiba teringat gurauan salah seorang kakak senior saya.

“Kalian kira kalau kita sudah lulus kuliah kehidupan langsung gampang ya? Langsung kerja? haha…justru mereka yang sudah lulus itu yang pusing tujuh keliling. Sebagiannya pasti melanjutkan S2 sebagai pelarian untuk sementara ketimbang harus menerima label ‘pengangguran’,” ungkapnya.

Tuhan, semoga selepas kuliah nanti saya bisa langsung memperoleh pekerjaan yang memang sesuai dengan passion saya ya.. Tapi, eh, kalau mau dikasih “rezeki” sebelum saya menyelesaikan studi, ya gak apa-apa juga. Hehe… ^_^.V

***

Adik saya kemudian menyetorkan beberapa jambu biji ukuran kecil. Hanya seukuran bola pimpong.

“Ini loh, Kak. Isinya putih, tapi sudah matang. Biar kecil-kecil juga…” Susah payah ia tadi berlari-lari ke arah belakang rumah dan mengajak anak tetangga untuk mengambil jambu biji yang ia ceritakan. Menyenangkan juga melihat adik saya tanpa malu atau segan mengajak anak tetangga yang disabilitas bermain bersamanya.

“Dijamin tidak ada ulatnya,” ujarnya lagi menemani saya pagi itu di beranda rumah. Saya mengambil jambu yang dibawanya.

Saya menikmati momen-momen seperti itu lagi. Duduk di depan teras rumah, melihat kendaraan yang lalu-lalang di jalanan. Tidak lantas menghitungnya satu-satu. Hanya mencermatinya. Menghabiskan waktu, merenungi banyak hal. Tentu saja, merencanakan pula sekian juta hal di kepala saya. Accepting and gratefully.


--Imam Rahmanto-- 

You Might Also Like

0 comments