"Nyantai" Bareng Sheila On 7

Februari 22, 2014

Baca Juga

Bagaimana menjalani kehidupan sebagai seorang pewarta kampus tergantung dari bagaimana kita berinteraksi di kampus. Yah, kita akan menjalani berbagai fenomena liputan yang melibatkan elemen-elemen kampus dan berbicara soal kampus saja. Kalaupun liputan kita berekspansi hingga keluar wilayah, masih saja kita dihadapkan pada persoalan-persoalan dalam lingkup kampus sendiri.

“Keterampilan kita membawa peristiwa atau fenomena di luar kampus, bahkan yang bertaraf nasional dihubungkan dengan fenomena-fenomena di kampus sendiri,” Saya selalu mendengarnya dari petuah para senior di lembaga jurnalistik kami. dan memang dalam waktu bertumbuh yang tidak sebentar, kami diajarkan untuk tetap meng-upgrade pikiran dengan hal-hal baru.

Tak jarang, dalam setiap perjalanan, menuju apapun, kita akan menemui titik kejenuhan. Dalam Matematika, kalau tidak salah, ia disebut sebagai titik optimum dalam penggambaran sebagai grafik sebuah kurva, baik titik maksimum maupun titik minimum. Dalam Bahasa Indonesia, segi penceritaan, ia disebut sebagai titik klimaks. 

Garis yang membentuk kurva itu hanya melalui satu titik puncak saja. Selepas itu, ia akan kembali seperti biasa, namun tidak lagi pada posisi semula. Tentu dalam posisi yang lebih baik ketimbang sebelumnya.

Selalu saja, untuk menghadapi kejenuhan beragam caranya. Dan saya melakukannya dengan sekali-kali mencoba hal-hal baru, termasuk sedikit mencoba menjadi wartawan infotainment. Huahahaha... Tapi, tidak lantas saya menuliskannya dan benar-benar berubah menjadi salah satu wartawan yang paling intens bertemu dengan artis itu. Saya hanya mengambil kesempatan bisa bertemu dengan salah satu band artis kesukaan saya. Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui.

Sheila On 7. Salah satu band asal Yogyakarta itu baru-baru saja manggung di Makassar. Yah, seperti sudah kebiasaan, artis-artis yang akan menggelar pertunjukan tentunya menggelar konferensi pers terlebih dahulu dengan para pewarta media. Entah itu sehari sebelumnya, atau beberapa jam sebelumnya. Dan waktu-waktu seperti itulah kesempatan para wartawan untuk menggali informasi sekaligus bertemu dengan idola-idola layar kaca tersebut. Yah, artis-artis itu besar dan tersohor karena pengaruh televisi yang menggurita. Tapi seingat saya semasa kecil, band satu ini besar karena lagu-lagunya yang berantai lewat radio.

Bermodal kenekatan dan sedikit kedekatan dengan beberapa media di Makassar, saya diajak oleh seorang senior untuk mengikuti konferensi persnya yang digelar di Hotel Clarion. Interested! Saya memang lama menunggu bisa bertemu dengan band satu itu. Selain karena sudah kebiasaan saya sejak dulu mengoleksi suara-suara artis untuk keperluan pembuatan spot id radio kampus kami, saya juga butuh sedikit refresh dari rutinitas penerbitan tabloid. #fiuhh

“Dari media mana?” tanya salah seorang di meja registrasi, sembari mengecek kertas di tangannya yang berisi banyak nama media di Makassar. Tentunya, tidak ada nama Profesi di dalamnya. Jlebb.

Setelah lama menunggu, nyaris sejam, saya dan seorang teman beserta wartawan-wartawan lain baru diizinkan untuk mengecek kehadiran. Personil-personil Sheila On 7 juga baru saja masuk ke dalam ruangan konferensi pers.

Saya tentu saja agak grogi (dan ketakutan). Saya mengira para wartawan hanya datang saja dan mengisi langsung form registrasi tanpa dicek nama medianya di meja registrasi. Ternyata saya salah mengira. Sambil menghimpun kenekatan, saya sebut saja nama media saya, yang tentunya tanpa embel-embel universitas di dalamnya.

Dalam hati, saya berharap tak ada satu pun orang yang mengenali media yang saya sebutkan tadi. Kalau saja ada yang kenal, tiba-tiba ia berteriak, “Wah, itu media kampus Universitas Negeri Makassar!” dan kemudian saya dilarang untuk ikut Press Conference itu, bisa kecele juga. Saya mencoba memasang tampang meyakinkan saja bahwa itu media-yang-memang-ada dan memasang wajah flat “jangan-lihat-saya”.

“Boleh masuk, tapi cuma satu saja yang dizinkan ya,” katanya lagi setelah memeriksa list di tangannya dan tidak menemukan nama Profesi di dalamnya. Itupun dilakukannya setelah sedikit kebingungan mengulang-ulang nama Profesi. Hanya satu Press ID yang diserahkan kepada kami. Deg-degan saya pun agak mereda.

Meskipun demikian, saya tetap mengajak teman saya yang bertugas motret untuk ikut ke dalam ruangan. Dan ternyata, bisa kok, karena tidak kedapatan juga diantara wartawan-wartawan lain yang masuk ke dalam ruangan secara berbarengan. :D

Tidak cukup banyak wartawan yang hadir dalam konferensi pers yang digelar bersama Ninety Nine Entertainment sebagai Event Organizer-nya dan manajemen Hotel Clarion sebagai tempat pelaksanaan konser SO7 itu. Saya melihat kursi-kursi yang cukup lowong disana. Tapi saya menikmati pula kelowongan yang sedikitnya bisa memberikan keleluasaan buat merasai setiap inci kesenangan berhadapan langsung dengan band semasa kecil saya itu.

Duta dan Brian dalam konferensi persnya. Btw, yang kena blur itu saya loh.... -__-" (Foto: Kasdar-Profesi)

“Pastinya kita akan menyanyikan single terbaru kita juga dalam konser nanti malam. Bocoran judulnya, Canggung,” ungkap Duta mewakili teman-temannya. Saya mencatat beberapa hasil konferensi pers itu ala-ala wartawan infotainment-gosip-murahan profesional.

Duta mengungkapkan, ada dua single terbaru yang akan dinyanyikan. Namun, ditanya terkait album terbarunya, Duta sendiri belum bisa memastikan tahun ini akan keluar atau tidak. Saya menebak, seperti band-band kebanyakan, mereka mungkin masih sementara mencari label rekaman yang akan menggawangi mereka. Karena sepengakuan band berusia 18 tahun itu, mereka sudah mempersiapkan 10 lagu untuk album terbaru mereka.

“Apa di album terbaru itu nanti, termasuk di single, masih bercerita seputar cinta?” tanya salah seorang wartawan perempuan dari Tribun Timur.

“Kita masih bercerita tentang cinta, persahabatan, dan nyaris seperti lagu-lagu sebelumnya. Tapi meskipun temanya tetap sama, kita mencoba hal-hal baru, seperti di single terbaru kami. Lagu-lagunya masih kebanyakan ciptaan Eros,” sedikit hal yang bisa saya rekam dalam ingatan saya.

Saya ingat, masa-masa ketika saya masih sering mendengar lagu-lagu mereka. Radio RRI. Kami masih belum memiliki televisi yang kala itu hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Saya pun kerap kali menumpang menonton di tetangga kalau hari Minggu tiba. Biasa, film anak-anak yang masih bertebaran di hari minggu. Kalau sekarang mah, acara TV di hari minggu membuat anak-anak dewasa sebelum waktunya. Prematur.

Lagu-lagu seperti Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki, JAP, Dan, Perhatikan Rani seringkali diputar bersaing dengan lagu-lagu milik Dewa 19. Namun, karena bernuansa anak muda, saya lebih condong ke band gokil satu itu. Lagipula lagu-lagu yang dibawakannya kala itu enak didengar dan mudah diingat.

Serius loh, mereka benar-benar lucu. Di sela-sela konferensi pers saja mereka masih sempat-sempatnya guyon satu sama lain. Brian yang memakaikan kacamata ke Eros. Duta yang berlelucon di sela-sela jawabannya ke media. Adam yang dengan gaya pendiamnya sekali-kali nyyeletuk. Eros yang berujar, “Kok pertanyaannya dikit banget. Nambah lagi dong.” Tetap saja, bagi saya, mereka band yang terbilang sangat ramah.

Beberapa kali mengejar artis-artis yang datang ke Makassar, saya kerap dibuat jengkel dengan kesombongan mereka. Ada yang merasa sok eksklusif. Ada yang pelit bicara. Ada yang pengamanannya sangat ketat. Dan lain hal lagi yang membuat saya harus antipati kepada mereka. Keramahan mereka di layar kaca tidak seperti pada kenyataannya.

Apa yang saya temui lewat sedikit permintaan dan interaksi dengan Duta membuat saya semakin yakin kalau band yang kini beranggotakan 4 orang itu benar-benar ramah. Untuk memperoleh suara Duta sebagai spot id radio kampus kami saja tidak begitu menyulitkan. Tidak ada pengamanan ketat. Santai. Saya yang kemudian mengikutinya hingga lobi hotel pun masih sempat meminta ucapannya untuk persiapan hari ulang tahun Profesi. Hanya saja……..

“Waduh, kenapa videonya terpotong-potong?”

“Saya juga tidak tahu kenapa. Kameranya ketika merekam, berhenti otomatis. Baru beberapa detik, berhenti,” ujar teman saya. Bahkan ada frame yang hilang.

Argh! Padahal saya sudah bersemangat pula menahan-nahan Sheila On 7 demi rekaman itu. Padahal kelucuan mereka berempat di video itu sudah terekam begitu jelas. Padahal nama Profesi Universitas Negeri Makassar juga sudah disebutkannya dengan begitu gamblangnya. Padahal mereka sudah dua kali pengambilan gambar dalam video itu. Sialnya, kamera yang digunakan ternyata telah full memory video-video kemarin yang lupa dipindahkan atau dihapus. Damn.

***
Sedikit bocoran, yang di tengah itu adalah personil baru Sheila On 7, tugasnya megang kipas kalau lagi
manggung. (Foto: Kasdar-Profesi)
“Dari Universitas Negeri Makassar kan?” salah seorang wartawan menanyai saya usai melakukan registrasi dan duduk-duduk di luar ruangan konferensi pers. Saya belakangan mengetahui ia berasal dari Harian Rakyat Sulsel. Saya tak mengira ada orang yang akan mengenal Profesi.

“Banyak juga ya mahasiswa-mahasiswa UNM itu yang pandai menulis. Saya sering baca tulisan-tulisannya itu di Profesi, yang online, kajian-kajian isunya bagus dan menarik. Saya suka,” ungkapnya. “Apalagi yang tentang korupsi itu, biasa malah dijadikan referensi media luar kampus,” lanjutnya lagi.

Mendadak saya bisa sedikit berbangga dan tak perlu malu-malu mengakuinya. Di luar kenyataan yang saya ketahui, lembaga jurnalistik yang selama ini menggembleng saya ternyata sudah banyak dikenal medi-media umum. Mungkin, banyak senior-senior yang berkiprah dan namanya besar di media-media bersangkutan, menjadi salah satu faktor pendukung. I proud it.

Terlepas dari itu, saya cukup senang bisa merasakan kembali sensasi bersentuhan dengan dunia luar. Bisa melihat dan mengenal dunia kerja secara profesional. Dunia itu yang mebuat kita berpikir bahwa, dunia ternyata tak hanya selebar daun kelor saja. Di balik luasnya lingkungan yang selalu menjadi comfort zone saya, ternyata masih ada banyak dunia-dunia asing dan menarik untuk dijelajahi. Saya sering merasakannya ketika sedikit melepas diri dari rutinitas yang terkadang membuat kepala saya nyaris pecah dan berantakan.

Dunia itu tak akan pernah terbuka ketika kita sendiri memutuskan masih tetap berada pada zona nyaman. Itulah gunanya out of the box, untuk mencari hal-hal baru. Ketika kita mampu bertahan sedikit saja darii titik-titik klimaks kejenuhan, terkadang kita akan menemukan antiklimaksnya, yang membangun semangat kita kembali. #just believe it

Melihat tawamu | Mendengar senandungmu | Terlihat jelas dimataku | Warna - warna indahmu

Menatap langkahmu | Meratapi kisah hidupmu | Terlihat jelas bahwa hatimu | Anugerah terindah yang pernah kumiliki


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments