Tak Ada yang Instan

Juli 26, 2013

Baca Juga

(google.com)
Saya menyeduh segelas Cappuccino hangat saya malam ini. Bukan minuman-minuman berkelas seperti yang disajikan di café-café sebenarnya, melainkan hanya minuman sachet yang dijajakan di warung-warung biasa. Akh, tak mengapalah. Saya tidak menikmati seberapa instan minumannya, melainkan aroma yang dihasilkan dari menikmatinya secara perlahan, sebagaimana manusia selalu berproses.

Instan? Rasanya, tidak ada hal yang berlaku benar-benar instan di dunia ini. Bahkan makanan atau minuman instan pun disajikan tidak benar-benar “langsung-ada-jadi”. Bagi saya, menjalani sesuatu memang dibutuhkan proses. Dan proses itulah yang menentukan hasilnya. Terlepas dari hasilnya yang baik atau buruk, selalu, darinya kita bisa mengambil banyak pelajaran. Kita hidup, menimba pengalaman, mengambil pelajaran, menuai hikmah.

Saya semakin percaya dengan ketentuan Law of Attraction, atau yang biasa disebut Hukum tarik-Menarik di alam ini. Apa yang kita bangun di pikiran kita sendiri terhadap sesuatu, maka pada kenyataannya alam akan berkonspirasi merefleksikannya dalam kehidupan nyata.

Seperti halnya yang belakangan, mungkin, saya alami. Beberapa hari menjalani keseharian dengan teman-teman baru di lokasi KKN membuat saya banyak belajar. Saya banyak belajar tentang pikiran saya sendiri. Mengelolanya, sekaligus mentransformasikannya. Nyata? Tentu saja. Selalu, apa yang saya harapkan berlaku demikian. :)

“Saya merasa tidak enak saja dengan kalian yang telah menghabiskan waktu lebih lama berada disini dibandingkan saya,” pernah suatu waktu saya berpikir pesimistis seperti itu.

Pertama kali, saya masih kikuk berkomunikasi dengan teman-teman saya. Meskipun, saya sendiri memaklumi apa yang terjadi pada saya. Akan tetapi, orang lain atau bahkan teman-teman saya disini tidak pernah melihat atau menyaksikan apa yang saya jalani, bukan? Mereka menilai berdasarkan apa yang mereka lihat.

Ada saja tatapan-tatapan tak mengenakkan, menurut persepsi saya, atas kehadiran saya. Pikiran itu, saban hari selalu menghantui gerak-gerik saya. Maka tak perlu heran jika suatu waktu saya menjadi orang yang pendiam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, meskipun saya sangat menginginkannya. Haha…alhasil saya terheran-heran menyaksikan seberapa introvert-nya saya kala itu. Saya selalu mengeluhkannya.

Percaya atau tidak, segala sesuatu itu butuh proses. Menyeduh kopi instan pun harus melalui tahapan-tahapan tertentu, seperti yang tertera di bungkusnya. Mie instan? Apalagi! Saban hari saya melihat teman-teman saya tidak bosan-bosannya menyeduh mie instannya. Mungkin, santapan berbuka maupun sahur tidak cukup untuk konsumsi perut mereka.

Jangankan makanan, hubungan dengan orang lain pun butuh proses. Tanpa proses, hasil yang didapatkan tentu mengecewakan. Yah, ingat, segala hal yang instan itu sejatinya tidak “menyehatkan”.

Tuhan pun menciptakan dunia ini dengan tahapan-tahapannya, kan? Bukan kunfayakun mendadak “langsung-jadi-ada”. Kalau saya tidak salah ingat, di pelajaran agama, bumi diciptakan lewat enam tahapan ya? Menjallin hubungan dengan orang lain bahkan bukan hal mudah.

Semenjak pertama kali menginjakkan kaki di lokasi KKN ini, meskipun sangat terlambat, saya memang sudah bertekad untuk bisa menjalani “rutinitas” parallel saya. Konsekuensinya, ya harus dijalani.

“Apa tidak capek bolak-balik Makassar-Pangkep terus?” seorang teman disini pernah bertanya.

“Ini sudah konsekuensi yang harus saya jalani,” timpal saya selalu. Imbasnya, saya harus “bekerja” melebihi kesanggupan teman-teman lain. Saya selalu percaya, keajaiban bisa diciptakan lewat kerja keras dan tekad yang kuat. Just believe it!

Saya kemudian tidak peduli dengan tatapan-tatapan tak mengenakkan itu. Saya tak bergeming dengan suara-suara  tak baik “tentang saya” di belakang sana. Sedikitnya, saya memaksa dan terus memaksa untuk berpikir sesuatu yang baik terhadap hubungan dengan teman-teman saya. Berusaha menanamkan persepsi baik lewat alam bawah sadar saya. Hasilnya?

Segala hal butuh proses. Dan ketika kita memutuskan menjalani proses itu dengan keyakinan dan kepercayaan, maka Tuhan akan selalu membukakan hasil yang baik bagi kita. Setelah menjalani proses-proses yang bagi saya melelahkan batin itu, akhirnya saya menemukan titik terangnya. Lampu hijau bagi saya. Proses yang ada, sembari terus belajar, cukup dinikmati.

Adalah keberuntungan bisa menjalani “pelajaran” itu disini. Saya belajar, bagaimana cara mengelola pikiran sendiri. Saya belajar cara menetapkan sesuatu dalam pikiran alam bawah sadar saya. Saya belajar tentang komunikasi efektif dengan orang lain. Bahwa ternyata segalanya memang butuh proses. Saya belajar bagaimana menarik minat orang lain. Saya banyak belajar dari kehidupan yang terkadang tak disadari orang lain. Saya belajar dari mereka yang tidak sadar telah menjadi guru bagi saya. Saya belajar menikmati dan memetik pelajaran dari sana.

Akhirnya, mungkin, saya tidak perlu kesulitan lagi menjalani aktivitas parallel itu. Tugas akademik dan tanggung jawab seorang pimpinan. ^_^.


--Imam Rahmanto-- 

You Might Also Like

0 comments