Sekadar Cerita

Juli 22, 2013

Baca Juga

Hei, Cappie. Ini tentangmu. Kerinduan yang tak berbekas.

Cappuccino. Aku merindukanmu. Di bulan Ramadhan ini, di kampung tempat aku menyelesaikan tugas akademikku, kita sangat jarang berkomunikasi sekadar menyeruput aromamu. Mendekatkan bibir di gelas kesayanganku, di pagi hari. Ya, tentu kau tahu, betapa sukanya aku dengan pagi.

"Selamat pagi...."

Setiap kali pagi datang dan aku selalu menjadi orang pertama terjaga. Tak peduli tempat. Pun di lokasi ini, aku masih saja bisa menikmati pagi. Seorang diri merasakan ketenangan. Udara sejuknya yang menyekat di balik jaket yang kukenakan. Menatap jauh, jauh ke masa-sama silamku yang tak pernah dijamah orang lain. Hanya kau yang tahu, Cappie. Hanya karena kaulah yang selalu menemani pagiku.

"Maaf, Cappie. Menikmatimu di waktu sebulan ini akan terasa sulit. Jikalau bukan selepas tarawih, mungkin sehabis sahur," ucapku suatu ketika.

Semoga mengingat-ingat sekaligus membicarakan kehadiranmu di pagi ini bukanlah hal yang tabu dalam agamaku. Ini bulan Ramadhan, bulan yang seyogyanya mampu mengubah setiap sisi manusia jadi lebih baik. Puasa, mengukuhkan setiap amalan, mengikis setiap dosa. Hanya saja, apa kau tahu Cappie? Diriku yang dulu nyatanya lebih baik ketimbang diriku yang sekarang. Yah, tentu saja dalam tataran menyusuri bulan penuh berkah ini. Entahlah. Korelasi kedewasaan, cara berpikir, kesibukan, lingkungan, atau segalanya apakah mempengaruhi? Cemas.

Hei, Cappie. Apa kabarmu kini? Tiba-tiba saja aku agak menyesal tidak memenuhi pemberian salah seorang sahabatku. Hmm...penyeslaan yang semoga dibacanya dan membuatnya kembali sukarela mendonorkan sedikit kebaikan hatinya. 

"Ini Cappuccino buatmu. Sebagai bekal yah.." Ia mengangsurkan satu kotak yang tentu saja berisi Cappuccino. Mungkin, saking sayang dan merindunya ia dengan kami (aku dan seorang temanku) di redaksi, tak segan-segan ia ingin membekali kami dengan pemberiannya. Ia sangat tahu dan kenal betul, aku senang denganmu. Eh, sebenarnya malah semua orang di redaksi tahu tentang kebiasaanku yang satu ini.

"Eh, tapi saya balik ke lokasi bukan hari ini, melainkan lusa." Saya sedikit meluruskan tentang perkiraan kami kembali hari itu. Sedikit bercanda pula dengannya. Seperti yang kau tahu, Cappie. Ia merupakan salah seorang diantara kami bersepuluh yang paling peka dan peduli dengan teman-teman lain. Ia juga cengeng. ;)

"Ya sudah, disimpan saja dulu. Nanti kalau sudah balik baru dibawa," tuturnya. Dengan senang hati, tentu aku menerimanya.

Mana bisa aku bertahan lama denganmu. Benar saja, sekembalinya aku dari sana dengan tangan kosong. Tanpa membawa pemberian temanku itu. Maklum, aku tak pernah tahan mengangurkanku barang sehari atau dua hari. Padahal, kami tahu, ia memberikannya dengan hati yang berbunga-bunga. Mungkin sja karena ia baru-baru memperoleh iklan "besar". Dan kami tahu, ia aga jengkel (dibuat-buat) perihal tersebut. Tak apalah, lain kali saya pasti bawa kok. :)

Ini Ramadhan, ini puasa. Pagi hari, tentu saja aku tak bisa bersamamu. Padahal, aku selalu mendambakan menyeruputmu di sela-sela matahari buta. Layaknya perokok, kau terkadang memberikan stimulus bagi otakku untuk bekerja lebih baik. Bekerja untuk bercerita. Bekerja untuk menulis.

Oiya, Cappie. Menurutmu, aku pagi ini tak tentu arah? Tulisanku? Memang benar. Karena pagi ini aku hanya ingin sekadar bercerita dan mengatasi kekosonganku disini. Dan aku menyukainya. Bagiku, menulis itu candu.


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments