Pertanyaan Sederhana

Juli 17, 2013

Baca Juga


(designed by ImamR)
Dua malam lalu, saya tidak tahan untuk lebih cepat terlelap dari biasanya. Saya baru saja melakukan perjalanan jauh, dari Pangkep ke Makassar. Waktu tempuhnya sebenarnya hanya 1 hingga 1,5 jam. Akan tetapi, jalanan kota Makassar di sore hari tidak semulus dugaan saya. Macet.

Saya beberapa kali harus bolak-balik Pangkep - Makassar, lokasi KKN - lokasi peliputan. Bukan hanya sebatas menyelesaikan proses peliputan yang sebenarnya tidak banyak membebani saya, melainkan mengawal sedikit tanggung jawab saya dan sekadar mengucap “apa kabar” untuk mereka. Katanya, keluarga yang baik adalah dia yang tidak membiarkan anggota keluarga yang lainnya telantar begitu saja. Dan saya mencoba mencerna pemaknaan konotasi ungkapan itu.

Seperti biasa, ruang tamu masih saja ramai seperti biasanya. Apalagi kami baru-baru saja selesai melaksanakan proses RPP alias Rapat Perencanaan Peliputan (usai melaksanakan ibadah shalat Tarawih). Beberapa teman masih belum beranjak dari posisinya, dan melanjutkan dengan obrolan-obrolan ringannya. Yaa, seperti yang sudah-sudah, gurauan-gurauan ala kami, pewarta kampus.

Saya masih terjaga ketika sayup-sayup mendengar obrolan teman-teman dari luar. Obrolan yang bagi saya, menarik. Sangat menarik malah.

“Lalu, apa yang membuat kamu masih mau bertahan di Profesi sampai sekarang?” tanya teman saya yang juga merupakan Pemimpin Umum kami. Ia mencoba sedikit peruntungan mengubek-ubek kedalaman tekad anggotanya.

“Karena saya sudah sejauh ini. Dan saya berpikir, kalau saya mundur, berarti sia-sialah perjalanan saya selama ini,” ujar salah seorang teman saya lagi. Hm…saya trenyuh mendengarnya. Saya mengulas senyum diam-diam.

“Kalau saya mundur, berarti saya tidak bakal bertemu lagi dengan Kak…, Kak…., “ ujar yang lainnya sembari menyebutkan nama teman-teman redaksi satu per satu. Sedikit gombal sih, tapi cukup bisa diterima.

“Tapi, buat saya, alasan saya hingga detik ini masih bertahan disini, ya karena saya telah banyak mendapatkan sesuatu dari Profesi. Baik itu berupa materi maupun non-materi. Selain itu, hal sebaliknya juga berlaku bagi saya,” ujar teman saya mantap.

Apapun itu, hal yang berlaku memang sebagian besar seperti itu. ^_^.

“Saya tertarik dengan perbincangan kalian!” seru saya dari balik sekat ruangan perpustakaan, tempat saya berbaring. Sedikit mengubah posisi tidur. Sembari menghadap ke arah perbincangan mereka, saya melanjutkan, “Apa yang membuat saya hingga saat ini masih bertahan di Profesi?”

“Iya. Apa, Kak?” mereka mungkin sedikit penasaran dengan jawaban saya.

Pertanyaan itu, bagi saya, sederhana. Sesederhana saya menemukan jawabannya beberapa bulan lalu. Tidak rumit. Hanya saja, saya memang baru menyadarinya ketika saya kehilangan salah satu esensi itu dalam kehidupan saya. Saya baru menemukannya ketika saya telah kehilangannya.

Sederhana. Tak perlu rumus Matematika untuk menemukannya. Tak perlu menghafal untuk melaminatingnya di kepala. Tak ada aba-aba bagi saya untuk bisa menyampaikan alasan sederhana atas pertanyaan sesederhana itu. Karena, toh, saya menemukannya lewat perjalanan hidup saya. Saya belajar banyak tentang kehidupan itu sendiri. Sehingga, kapanpun saya mendapatkan pertanyaan demikian, dengan mantap dan percaya diri saya akan menjawab,

“Karena disini, saat ini, adalah satu-satunya keluarga yang saya miliki…”


--Imam Rahmanto--


Baru-baru saja, sore kemarin, Sandy si Tupai (teman Spongebob Squarepants) menyampaikan kalimat yang bijak menurut saya, “Rumah bukan soal daging, barbeque, atau yang lainnya. Rumah adalah tempat dimana kita dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi kita.” Saya sependapat dengannya. (y)

You Might Also Like

0 comments