Terlewat Begitu Saja
Desember 04, 2012Baca Juga
"Sangat penasaran apakah seorang Imam pernah menyukai ..........."
Sebuah pernyataan yang sudah sering kuterima. Bahkan, tahukah engkau, teman-temanku disini sering menjadikannya bahan candaan. Engkau, melontarkannya begitu saja malam ini. Setelah aku mencoba mengingat-ingat masa-masa SMA-ku dulu. Hanya karena kita baru saja bersua setelah sekian lama tak jumpa, meski hanya sebatas berkomunikasi beberapa menit via jejaring sosial. Aku juga sebenarnya penasaran dengan mereka yang pernah kutitipi perasaan tak nampak itu. Tapi, apakah mereka atau engkau tahu jika aku sendiri tak pernah menyampaikannya? Sungguh bodoh ya. Ah ya, urusan seperti itu memang bukanlah hal sepele. Tak pantas rasanya jika kita bermain tebak-tebakan di dalamnya. Tak perlu heran aku pernah merasakan statistik peluang tebak-tebakan masalah hati itu. Dan hasilnya? Terlalu menyedihkan untuk dipahami...
Ada banyak hal yang telah berubah. Aku, keadaanku, dia, mereka, atau juga mungkin engkau.
Semenjak aku menghindari coretan-coretan sprayer di baju seragam sebagai tanda kelulusan kita sebagai siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Aku yang saat itu berpikir bahwa seragamku masih bisa dimanfaatkan untuk adikku kelak. Wajar. Adalah hal biasa bagiku untuk selalu berbagi dengan adikku. Orang tua kami tentunya bukanlah orang yang leluasa mencairkan uangnya untuk kebutuhan sehari-hari. Tak ayal, seragamku (mungkin) menjadi satu-satunya seragam terbersih yang pernah engkau lihat.
Sebelumnya, aku tidak pernah menginginkan diriku menjadi orang yang dikenal di seantero sekolah. Itu hanya kesalahan. Seandainya saja nilai kawanku sedikit lebih mencukupi, mungkin aku hanya akan menjadi wakilnya. Dan tidak perlu memerintah langsung pada kalian. Aku hanya berusaha menjadi orang terbaik sesuai dengan harapan ayahku. Sejak kecil, aku sudah diajarkan untuk tidak menyerah pada keadaan. Bahkan, akulah yang mesti memutarbalikkan keadaan itu. Seperti yang terjadi sekarang, bukan? Jikalau mereka tahu, aku telah memutarbalikkan persepsi yang mereka bangun semasa SMA dulu. Mereka mungkin akan mengernyitkan kening ketika melihatku. Tapi, aku kan tersenyum bangga menikmatinya. Aku punya mimpi dan banyak hal yang telah berubah.
Apa kau tahu, di masa-masa sebelum seragammu tercoret, aku terkadang benci melihat orang-orang yang selalu berboncengan mesra dengan lawan jenisnya. Bukannya karena aku terlalu banyak menyerap pelajaran agama yang diajarkan oleh guru agama sekolah kita. Tidak. Aku malah ketika SMA menjadi orang yang paling sering dicurigai tidak menjalankan shalat berjamaah di Masjid sekolah oleh Pak Guru (entah apa alasannya). Aku iri hanya karena tak pernah berkesempatan merasakan hal serupa. Ah ya, memboncengmu pun pernah tapi hanya sebatas solidaritas teman. Dengan yang lainnya aku pun pernah menawarkan hal serupa. Aku tak tega melihat teman-teman perempuanku harus bermalam di kampus hanya gara-gara pekerjaan yang kuberikan.
Aku heran dengan teman-teman lelakiku dengan begitu mudahnya mengatakan, "Dia pacarku," tanpa pernah bercerita muasal kisah kasih mereka dimulai. Padahal dia tak tak pernah kuberitahu, sebegitu penasarannya diriku tentang kisah itu. Aku ingin belajar dari siapa saja. Meskipun percuma.
Sebesar apapun ilmu yang kupelajari di masa-masa sekolah dulu takkan bisa mengalahkan sifat pemalu dalam diriku. Tidak. Aku sebenarnya tidak pemalu. Disini, aku dikenal teman-temanku sebagai anak "cerewet". Tidak hanya di dunia nyata, di facebook pun berlaku hal serupa. Aku bahkan biasanya menjadi penganggu yang unik diantara mereka. Heh, Maka tak pantas rasanya aku mengatakan diriku pemalu.
Aku hanya terlalu takut jika seseorang menolak perasaanku. Pertemanan itu berubah renggang. Aku mungkin takkan berani lagi sekadar menyapa. Tak ada banyak hal yang bisa dibanggakan dariku.
Engkau berkata jenius, tapi aku seringkali melihat teman-teman lelakiku tidak butuh kepandaian sesuper Albert Einstein untuk menggaet teman-teman perempuan di sekolah kita.
Kau berkata gagah, akh, sungguh ceroboh rasanya engkau mau menyandingkanku dulu dengan teman-teman yang lebih tinggi dariku. Ingat tidak? Aku sejak dulu dikenal sebagai "siswa kecil" di sekolah. Sampai-sampai, kini teman-teman sekolah kita ataupun guru disana harus terkejut (seakan tak percaya) tatkala melihatku dengan sedikit perubahan yang berbeda. "Wah, kamu ternyata sudah lebih tinggi ya," kalimat pertama yang selalu ditujukan buatku.
Oh ya, engkau juga berkata tentang ketampanan dari dalam, semacam inner beauty. Akan tetapi, apakah kau tahu, seseorang lebih suka membeli buku karena melihat sampulnya saja? Engkau tahu dan engkau mengerti akan hal itu..
Ada banyak hal yang selalu terbalik di dunia ini.
Aku pernah menyukaimu? Sebut saja, ya. Aku sudah lupa kapan tepatnya ketika aku mulai menyimpan perasaan itu untuk diriku sendiri. Perasaan yang membuatku senang harus mengantarkanmu pulang ke rumah. Meski harus melewati sungai, yang kata orang, penuh makhluk penunggunya. Ya, hal itu berlangsung cukup lama. Agak lama semenjak aku menjalankan tugas dan kewajibanku di intra sekolah. Kau baru mengenalku mungkin ketika bergabung dengan kami. Begitu pula denganku. Kelas yang berbeda namun pekerjaan yang harus dilakukan bersama. Kata ibu guru Biologi, semacam otot-otot yang harus sinergis melakukan pekerjaannya bersama.
Akan tetapi, aku mulai melupakannya. Aku membuangnya jauh-jauh. Tak mungkin aku bersaing dengan seseorang yang berbeda sekolah namun setiap hari setia menjemputmu. Jika engkau menyandingkanku dengannya, aku akan mengalah. Aku sama sekali selalu kalah jika harus bersaing soal perasaan. Sekolah, tak pernah mengajarkanku bagaimana cara mengungkapkannya.
Dan tahukah engkau, sungguh pengalaman yang lucu ketika pertama kali menginjakkan kaki di kota Makassar, aku bertemu dan berteman dengan lelaki itu. Aku yang tidak pernah bertemu dengannya diperkenalkan teman sekelasku di sekolah dulu melalui bisikan-bisikan singkat.
"Dia itu pacarnya," bisiknya padaku.
Yah, sungguh suatu kebetulan bisa mengenal dan akrab dengannya, meskipun hanya beberapa bulan. Selepas itu, aku tak pernah mendengar kabarnya lagi. Mungkin, engkau lebih tahu kabarnya dibandingkan aku.
Siapa yang mengira, perasaanku kemudian tumbuh pada orang yang berbeda di sekolah kita. Bahkan engkau tidak tahu hal itu. Bukankah sudah kukatakan, aku adalah orang paling "jenius" menyembunyikan perasaan. Terlebih kepada orang yang kutujukan perasaan itu. Dikebiri sekalipun, aku takkan bakal mengungkapkannya. Bahkan sekadar membagi curahan hatiku itu dengan orang yang kupercayai. Hingga beranjak lepas SMA pun, masih tertanam perasaan itu. Tapi, sudahlah. Aku berusaha melupakannya.
Jika engkau ingin tahu diriku yang sekarang, aku berbeda. Jauh berubah soal rasa. Tentu saja, kelak ketika kita bertemu engkau akan menemukan pribadi yang berbeda dengan yang kau kenal di SMA dulu. Aku tak lagi senang dengan perihal menyembunyikan "rasa". Tak berguna, kata orang. Tak perlu heran ketika aku menceritakan banyak hal padamu malam ini. Terbuka. Jujur. Dan mungkin... lebih tenang.
Aku banyak belajar soal betapa bodohnya menyimpan perasaan untuk diri sendiri. Mengatasinya dan membaliknya menjadi sebuah keberanian adalah hal yang patut kupelajari. Kau tahu darimana aku belajar? Akh, aku belajar dari seseorang yang menjadi "virus" kesekian kalinya bagiku. Akan tetapi, mungkin, ia takkan pernah tahu bahwa ia adalah satu-satunya yang pertama bagi keberanianku. Oleh karena itu, seandainya waktu bisa dikembalikan, aku ingin memperbaiki kebodohan-kebodohan yang lalu di masa sekolah kita. Memperbaikinya, bisa jadi mengajarkanku cara yang benar untuk berkata benar padanya.
Manusia tak bisa menciptakan mesin waktu untuk kembali ke masa silam. Namun, manusia tak pernah menyadari telah dianugerahkan Tuhan untuk memiliki sendiri mesin waktunya, yakni memory.
Dan kini, aku masih saja menyendiri. Entah karena aku ingin berlari mengejar mimpiku atau karena aku yang terlalu takut mengulang perasaan yang salah.... Apakah kau tahu itu?
Sebuah pernyataan yang sudah sering kuterima. Bahkan, tahukah engkau, teman-temanku disini sering menjadikannya bahan candaan. Engkau, melontarkannya begitu saja malam ini. Setelah aku mencoba mengingat-ingat masa-masa SMA-ku dulu. Hanya karena kita baru saja bersua setelah sekian lama tak jumpa, meski hanya sebatas berkomunikasi beberapa menit via jejaring sosial. Aku juga sebenarnya penasaran dengan mereka yang pernah kutitipi perasaan tak nampak itu. Tapi, apakah mereka atau engkau tahu jika aku sendiri tak pernah menyampaikannya? Sungguh bodoh ya. Ah ya, urusan seperti itu memang bukanlah hal sepele. Tak pantas rasanya jika kita bermain tebak-tebakan di dalamnya. Tak perlu heran aku pernah merasakan statistik peluang tebak-tebakan masalah hati itu. Dan hasilnya? Terlalu menyedihkan untuk dipahami...
Ada banyak hal yang telah berubah. Aku, keadaanku, dia, mereka, atau juga mungkin engkau.
Semenjak aku menghindari coretan-coretan sprayer di baju seragam sebagai tanda kelulusan kita sebagai siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Aku yang saat itu berpikir bahwa seragamku masih bisa dimanfaatkan untuk adikku kelak. Wajar. Adalah hal biasa bagiku untuk selalu berbagi dengan adikku. Orang tua kami tentunya bukanlah orang yang leluasa mencairkan uangnya untuk kebutuhan sehari-hari. Tak ayal, seragamku (mungkin) menjadi satu-satunya seragam terbersih yang pernah engkau lihat.
Sebelumnya, aku tidak pernah menginginkan diriku menjadi orang yang dikenal di seantero sekolah. Itu hanya kesalahan. Seandainya saja nilai kawanku sedikit lebih mencukupi, mungkin aku hanya akan menjadi wakilnya. Dan tidak perlu memerintah langsung pada kalian. Aku hanya berusaha menjadi orang terbaik sesuai dengan harapan ayahku. Sejak kecil, aku sudah diajarkan untuk tidak menyerah pada keadaan. Bahkan, akulah yang mesti memutarbalikkan keadaan itu. Seperti yang terjadi sekarang, bukan? Jikalau mereka tahu, aku telah memutarbalikkan persepsi yang mereka bangun semasa SMA dulu. Mereka mungkin akan mengernyitkan kening ketika melihatku. Tapi, aku kan tersenyum bangga menikmatinya. Aku punya mimpi dan banyak hal yang telah berubah.
Apa kau tahu, di masa-masa sebelum seragammu tercoret, aku terkadang benci melihat orang-orang yang selalu berboncengan mesra dengan lawan jenisnya. Bukannya karena aku terlalu banyak menyerap pelajaran agama yang diajarkan oleh guru agama sekolah kita. Tidak. Aku malah ketika SMA menjadi orang yang paling sering dicurigai tidak menjalankan shalat berjamaah di Masjid sekolah oleh Pak Guru (entah apa alasannya). Aku iri hanya karena tak pernah berkesempatan merasakan hal serupa. Ah ya, memboncengmu pun pernah tapi hanya sebatas solidaritas teman. Dengan yang lainnya aku pun pernah menawarkan hal serupa. Aku tak tega melihat teman-teman perempuanku harus bermalam di kampus hanya gara-gara pekerjaan yang kuberikan.
Aku heran dengan teman-teman lelakiku dengan begitu mudahnya mengatakan, "Dia pacarku," tanpa pernah bercerita muasal kisah kasih mereka dimulai. Padahal dia tak tak pernah kuberitahu, sebegitu penasarannya diriku tentang kisah itu. Aku ingin belajar dari siapa saja. Meskipun percuma.
Sebesar apapun ilmu yang kupelajari di masa-masa sekolah dulu takkan bisa mengalahkan sifat pemalu dalam diriku. Tidak. Aku sebenarnya tidak pemalu. Disini, aku dikenal teman-temanku sebagai anak "cerewet". Tidak hanya di dunia nyata, di facebook pun berlaku hal serupa. Aku bahkan biasanya menjadi penganggu yang unik diantara mereka. Heh, Maka tak pantas rasanya aku mengatakan diriku pemalu.
Aku hanya terlalu takut jika seseorang menolak perasaanku. Pertemanan itu berubah renggang. Aku mungkin takkan berani lagi sekadar menyapa. Tak ada banyak hal yang bisa dibanggakan dariku.
Engkau berkata jenius, tapi aku seringkali melihat teman-teman lelakiku tidak butuh kepandaian sesuper Albert Einstein untuk menggaet teman-teman perempuan di sekolah kita.
Kau berkata gagah, akh, sungguh ceroboh rasanya engkau mau menyandingkanku dulu dengan teman-teman yang lebih tinggi dariku. Ingat tidak? Aku sejak dulu dikenal sebagai "siswa kecil" di sekolah. Sampai-sampai, kini teman-teman sekolah kita ataupun guru disana harus terkejut (seakan tak percaya) tatkala melihatku dengan sedikit perubahan yang berbeda. "Wah, kamu ternyata sudah lebih tinggi ya," kalimat pertama yang selalu ditujukan buatku.
Oh ya, engkau juga berkata tentang ketampanan dari dalam, semacam inner beauty. Akan tetapi, apakah kau tahu, seseorang lebih suka membeli buku karena melihat sampulnya saja? Engkau tahu dan engkau mengerti akan hal itu..
Ada banyak hal yang selalu terbalik di dunia ini.
Memory. |
Akan tetapi, aku mulai melupakannya. Aku membuangnya jauh-jauh. Tak mungkin aku bersaing dengan seseorang yang berbeda sekolah namun setiap hari setia menjemputmu. Jika engkau menyandingkanku dengannya, aku akan mengalah. Aku sama sekali selalu kalah jika harus bersaing soal perasaan. Sekolah, tak pernah mengajarkanku bagaimana cara mengungkapkannya.
Dan tahukah engkau, sungguh pengalaman yang lucu ketika pertama kali menginjakkan kaki di kota Makassar, aku bertemu dan berteman dengan lelaki itu. Aku yang tidak pernah bertemu dengannya diperkenalkan teman sekelasku di sekolah dulu melalui bisikan-bisikan singkat.
"Dia itu pacarnya," bisiknya padaku.
Yah, sungguh suatu kebetulan bisa mengenal dan akrab dengannya, meskipun hanya beberapa bulan. Selepas itu, aku tak pernah mendengar kabarnya lagi. Mungkin, engkau lebih tahu kabarnya dibandingkan aku.
Siapa yang mengira, perasaanku kemudian tumbuh pada orang yang berbeda di sekolah kita. Bahkan engkau tidak tahu hal itu. Bukankah sudah kukatakan, aku adalah orang paling "jenius" menyembunyikan perasaan. Terlebih kepada orang yang kutujukan perasaan itu. Dikebiri sekalipun, aku takkan bakal mengungkapkannya. Bahkan sekadar membagi curahan hatiku itu dengan orang yang kupercayai. Hingga beranjak lepas SMA pun, masih tertanam perasaan itu. Tapi, sudahlah. Aku berusaha melupakannya.
Jika engkau ingin tahu diriku yang sekarang, aku berbeda. Jauh berubah soal rasa. Tentu saja, kelak ketika kita bertemu engkau akan menemukan pribadi yang berbeda dengan yang kau kenal di SMA dulu. Aku tak lagi senang dengan perihal menyembunyikan "rasa". Tak berguna, kata orang. Tak perlu heran ketika aku menceritakan banyak hal padamu malam ini. Terbuka. Jujur. Dan mungkin... lebih tenang.
Aku banyak belajar soal betapa bodohnya menyimpan perasaan untuk diri sendiri. Mengatasinya dan membaliknya menjadi sebuah keberanian adalah hal yang patut kupelajari. Kau tahu darimana aku belajar? Akh, aku belajar dari seseorang yang menjadi "virus" kesekian kalinya bagiku. Akan tetapi, mungkin, ia takkan pernah tahu bahwa ia adalah satu-satunya yang pertama bagi keberanianku. Oleh karena itu, seandainya waktu bisa dikembalikan, aku ingin memperbaiki kebodohan-kebodohan yang lalu di masa sekolah kita. Memperbaikinya, bisa jadi mengajarkanku cara yang benar untuk berkata benar padanya.
Manusia tak bisa menciptakan mesin waktu untuk kembali ke masa silam. Namun, manusia tak pernah menyadari telah dianugerahkan Tuhan untuk memiliki sendiri mesin waktunya, yakni memory.
Dan kini, aku masih saja menyendiri. Entah karena aku ingin berlari mengejar mimpiku atau karena aku yang terlalu takut mengulang perasaan yang salah.... Apakah kau tahu itu?
Makassar, 3 Desember 2012
--Imam Rahmanto--
0 comments