Hujan Awal Musim itu…

September 17, 2012

Baca Juga

Tidakkah kau merasakan wangi asap-asap kendaraan yang beradu dengan debu-debu jalanan? Deru mesin kendaraannya sama sekali tak mempengaruhi puing-puing debu yang berterbangan dihempas oleh rerintik hujan. Ya, hujan. Barusan adalah hujan pertama di bulan ini, di musim penghujan yang selalu engkau agung-agungkan.

“Bangun, bangunlah…” lirihku terbata-bata.

Engkau selalu menyukai hujan. Sejak pertama kali kita berjumpa, di bangku sekolah menengah, engkau selalu bercerita mengenai hujan. Tak ada henti-hentinya engkau mengisahkan segala perkara tentang hujan. Mulai dari anak-anak hujan sampai pada ayah hujan. Aku sampai bosan mendengarkanmu berceloteh mengenai hujan. Padahal, engkau sendiri tahu, aku berbeda denganmu. Aku sangat membenci hujan.

Hujan lah yang telah membasahi seluruh isi tasku ketika baru saja aku berangkat ke sekolah pagi itu. Dan kau hanya tersenyum melihatku basah kuyup. Hujan jua yang  membuat rambutku acak-acakan ketika akan bertemu dengan kekasihku. Dan kau, hanya tersenyum mengacak lagi rambutku. Hujan, selalu saja, menghalangi kepergianku. Hujan, aku tak bisa pergi kemana-mana. Hujan pula yang telah merenggut ayah dariku. Dan kau…baru kali itu terdiam mendengar keluhanku tentang hujan.

Aku masih duduk di tengah hujan ini.

Ciumlah, wangi jalan beraspal yang diterpa gerimis siang ini. Debu-debunya beterbangan, tak nampak namun terasa oleh hidung. Gerimis yang akan mengawali musim penghujan, berawal di bulan September ini. Bukankah kau suka dengan hujan pertama? Apa kau masih disana? Apa kau mendengarku?


Gambar: Google

“Ya, aku suka sekali ketika hujan paling pertama turun di jelang musim penghujan. Ada nuansa-nuansa kedamaian yang dibawanya. Menjadi penanda bahwa akan turun lebih banyak rahmat lagi,”

“Coba rasakan hujan itu, di depan rumahmu, di depan sekolah, di pematang sawah, di taman-taman kota. Atau bahkan di pinggir jalan raya sekalipun. Debu-debu gersang peninggalan musim kemarau dihempas begitu saja oleh titik-tik hujan. Beterbangan. Dan…hm…perasaanku begitu damai,” Aku melihatmu melepaskan pandangan ke depan, menerawang terbang bersama bayanganmu itu.

Ketika dulu engkau kutanya tentang hujan, tiba-tiba saja kau terdiam. Lama. Lama sekali.

“Ada apa? Kenapa kamu diam? Bukannya kamu suka dengan hujan? Trus, kenapa menjawab alasannya saja kamu terdiam sangat lama,” gerutuku kesal sambil tetap memaksamu membeberkan alasannya.

Kau hanya tersenyum getir. Ada sebuah luka di dalamnya. Aku tahu, karena aku pun dulu sering melontarkan senyuman serupa.

“Aku suka hujan. Aku sudah berjanji tak akan pernah membenci hujan,”

“Janji? Kepada siapa?” Dan aku berharap bukan pada kekasihmu.

“Aku pernah berjanji kepada diriku sendiri untuk tak membenci hujan, sejak ia dikirimkan Tuhan untuk membalas doaku satu-satunya,”

Tak perlu bertanya lagi, aku tahu maksudmu. Bukankah engkau dulu sudah pernah menceritakannya? Tentang engkau yang nyaris kehilangan keluargamu. Engkau berdoa. Hujan datang padamu begitu saja. Kau berteman dengan hujan. Mengikat janji untuk tak pernah saling membenci, seperti ketika kita mengikat janji sebagai sepasang sahabat.

Hujan membasahi seluruh tubuhku. Aku masih disini. Termangu. Gurat wajah kesedihan bisa kau lihat jelas di air mukaku. Air mataku sudah melebur dengan hujan. Menetes bersama titik hujan di keningmu. Aku jamin engkau takkan bisa membedakannya dengan air hujan ini. Namun, mengapa engkau sejak tadi tak berucap sepatah kata pun padaku? Engkau bukan Bintang yang kukenal. Bintang yang selalu membagi tawanya denganku yang membuat sedihku hilang ketika bersama denganmu.

Bintang, cobalah tertawa padaku. Jika engkau tertawa, aku tentu tak akan terisak seperti ini. Wajahmu sendu di atas pangkuanku. Engkau menatap langit dengan mata tertutup. Membiarkan tetes-tetes air menyapa setiap inci wajahmu. Seperti inikah engkau yang selalu menyukai hujan? Aku tetap kekeuh membenci hujan, terlebih saat ini.

Berbeda halnya ketika engkau menawariku sesuatu yang lain untuk kusukai. Seorang teman yang kau kenalkan padaku. Aku menyukainya, bukan? Bahkan aku menjadi kekasihnya. Ia, orangnya sangat baik. Mungkin, lebih baik darimu.  Dia lebih tampan. Dia lebih pandai. Dan dia punya harta melimpah. Namun, tahukah kau, aku tidak sungguh-sungguh menyukainya? Aku menyukainya semata-mata karena engkau berharap aku menyukainya. Sungguh, rasa sukaku padanya tidak seperti segelas Cappuccino yang pernah engkau tawarkan padaku.

“Ini minuman apaan sih?” Aku yang masih tidak tahu apa-apa mengenai minuman kesukaanmu dengan polosnya bertanya. Aku hanya terbiasa mendengar labelnya dari televisi-televisi milik para birokrat.

Ah, masa kamu ndak tahu sih? Ini kan Cappuccino. Minuman saudara sesusuannya kopi,” candamu.

“Memangnya kopi bisa nyusu?” timpalku bercanda pula.

“Bisalah. Makanya lahir ‘kopi susu’,”

Engkau tergelak. Tentu saja, aku tertawa mendengarnya yang hanya bisa kubalas dengan mendelik padamu. Seandainya saja aku bisa bermanja-manja padamu, maka saat itu juga aku ingin merajuk padamu. Entah mengapa, ketika berada di dekatmu, aku selalu bisa tertawa lepas tanpa secuil beban pun di pundakku. Aku sadar, kau selalu membuatku menjadi aku, tanpa mesti berputar menjadi diri orang lain terlebih dahulu.

Oleh karena itu, bangunlah. Bukankah besok kita akan jalan-jalan ke Losari, menantikan sunrise dan memperdebatkannya? Aku menantikan waktu itu.

“Bintang…” Aku tak mampu mengucap kata-kata lain selain namamu itu.

Aku sejak tadi menggoyang-goyang halus kepalamu. Menopangnya di atas pahaku. Membersihkan tetesan darah yang mengalir dari pelipismu. Aku menanti orang-orang yang sejak tadi berteriak-teriak memanggil ambulance. Menarik-narik mobil yang melintas di jalan tengah kota ini. Beberapa darinya hanya berhenti tidak jauh dariku, memandangiku. Nampaknya mereka merasa iba padaku. Atau padamu yang kini tak bersuara, meski sepatah rintihan saja?

“Cepatlah, Bung! Kecelakaan… Anak ini …  kritis. Bawa cepat… tumpangan…rumah sakit,” Aku sayup-sayup mendengar suara-suara itu di sekitarku. Patah-patah. Aku terus saja memelukmu. Berharap engkau bangun saat ini juga dan mengatakan “Surprise!” padaku, seperti yang selalu engkau lakukan jika ulang tahunku tiba.

Hujan, aku benci padamu. Hujan selalu saja merenggut orang yang kusayangi. Dan apakah engkau kan termasuk juga?

Aku terduduk disini sejak beberapa saat lalu. Tepatnya duapuluh menit yang lalu. Sejak mataku menangkap sebuah motor yang sangat kukenali bentuk fisiknya teronggok begitu saja di tengah jalan. Orang-orang ramai berteriak. Menahan setiap mobil pribadi ataupun angkutan umum yang melintas. Sekian meter di depan, berkerumum lebih banyak orang lagi. Aku mencerna situasi itu.

Tanpa pikir panjang, tanpa peduli hujan masih mengguyur, tak peduli hujan akan membasahi rambutku, atau bahkan meleburkan seluruh isi dalam tasku, aku turun dari angkutan umum yang kutumpangi. Aku tak mempedulikan tatapan penumpang lain yang merasa heran dengan kegilaanku. Berlari diantara kerumunan orang di depanku. Menerobos hujan. Harapanku saat itu hanya satu, tidak menemukan dirimu disini. Namun, ternyata hujan tetap saja pilu bagiku. Saat kutemukan, kau terbaring tak sadarkan diri diantara kerumunan yang memegangimu.

*****

“Hei, Rinai!”  Tadi pagi, engkau baru saja bertanya padaku. Kita bertemu di depan kampus. Aku baru saja pulang dari rumah seorang kawanku. Rutinitas seperti biasa, tugas kelompok.

“Kamu dari mana?” Engkau bertanya padaku.

“Dari kerja kelompok,” jawabku singkat meskipun aku ingin berlama-lama berbincang denganmu.

Belum sempat engkau berbicara lagi, mendadak atap-atap warung di sepanjang jalan kampus bergemuruh. Hujan turun mengguyur semua orang di sekitar kita. Aku memutuskan untuk berteduh di salah satu warung fotocopy. Engkau turun dari motor dan ikut berteduh denganku.

Meski aku benci hujan, aku senang jika saat-saat seperti ini tiba. Aku punya waktu beberapa menit menunggui hujan denganmu. Setiap hari, aku hanya bisa berjumpa denganmu di akhir pekan. Bukan karena aku sibuk kuliah atau kamu sibuk dengan aktivitasmu sebagai seorang jurnalis kampus, melainkan karena aku selalu saja harus meluangkan waktu untuk orang yang kamu pinta aku sukai. Tak ingin aku menyebutnya kekasihku jika di depanmu.

“Akhirnya hujan datang juga ya?” ucapmu. Sepersekian detik, aku hanya diam. Ah, pasti lagi-lagi engkau akan bercerita tentang hujan kan? Aku merindukannya.

“Ah, kalau hujan begini, aku tidak bisa pulang ke -- ,”

Belum sempat pula aku menyelesaikan kalimatku barusan, kau sudah bergegas naik lagi ke motormu. Sementara hujan masih melanda. Ah, kau memang tak pernah berusaha memberiku kesempatan.

“Bintang, kamu mau kemana?!” teriakku.

“Aku mau pulang duluan! Ada sesuatu yang mesti kukerjakan!”

“Tapi, ini kan hujan!”

“Tidak apa-apa kok. Soalnya aku buru-buru!”

Kau tidak mempedulikan lagi seruanku. Engkau memacu motormu di tengah hujan, yang membuatku cemas. Bagaimana tidak, hujan ini bukan hujan gerimis. Dan engkau hanya mengenakan sweater pemberianku.

*****

“Bintang…” Aku berkali-kali menyebut namamu. Apakah kau mendengarnya? Tentu tidak. Jikalau engkau mendengarnya, engkau sudah pasti bangun sekarang juga dan mengusap air mataku. Mengajakku pulang, menghindari hujan. Karena kau pun tahu, aku tak suka dengan hujan.

“Dik, disana sudah ada mobil yang bersedia membawanya. Cepat kita angkat segera,” Seseorang tergopoh-gopoh di dekatku. Aku mengangguk seraya pasrah menyerahkanmu padanya untuk dibawa.

“Tolong ya, Pak…” lirihku nyaris tak terdengar. Orang itu hanya menatap iba padaku, seperti orang-orang lainnya. Aku mengikutinya di belakang.

Berangsur, hujan perlahan memudar. Meninggalkan bercak-bercak air dan darah di permukaan jalan. Bulir-bulir air melengket di pucuk daun. Akan tetapi, tak ada pelangi yang akan menyambut keredaannya kini. Ia masih enggan muncul di hujan awal musim ini. Aku pun sama sekali tak mengharapkannya. Yang tertinggal kini hanya rinai-rinainya. Halus menerpa setiap pori-pori kulitku. Benarkah katamu, ada kedamaian di tiap rinai hujan?


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

2 comments

  1. selalu ada cappucino haha dan sepertinya minuman favorit dian disebut juga disini,like it :)

    BalasHapus
  2. @Chinta: Iya dong... Itu sudah menjadi menjadi ciri khas. Hehehe..... Susu? Mana? Mana?

    BalasHapus