Setangkai Mawar Rosa

Juni 07, 2012

Baca Juga


Maafkan aku... Aku tak pernah bermaksud menyakitimu. Aku pikir kau yang seperti mawar merah tak akan pernah tersakiti oleh mawar merah malam itu. Meski hanya setangkai, aku tak tahu. Aku sungguh tak pernah tahu.

Sedari awal, kau begitu berharga buatku, bagai mawar. Aku selalu melihatmu layaknya setangkai mawar itu. Setiap jam, mungkin orang-orang akan selalu memperhatikanmu. Mencoba menarik
perhatianmu. Bukan hal mudah. Berkali-kali mereka mencoba mendekat, yang terjadi tangan merek jua yang terluka oleh duri-durimu. Kau bagai bunga mawar itu. Aku tahu itu.

Akan tetapi, selalu ada pula yang berhasil memiliki mawar itu. Tak terhitung berapa orang. Mereka yang sudah terbiasa memetik tanpa takut terluka. Dia satu, selalu ada di dekatmu. Dia yang jatuh cinta padamu. Dan entah, apakah kau juga merasakan hal sama dengannya.

Tahukah kau, aku jauh hari telah belajar bagaimana cara memetik mawar itu. Hati-hati. Aku tak ingin terluka. Karena aku memang belum pernah terluka. Karena aku belum pernah berani bertaruh dengan perasaan. Kata teman-temanku, aku pecundang. Namun, tahukah kau, terkadang perasaan itu ternyata menjerumuskan...

Aku sangat bodoh. Terlalu bodoh malah. Perasaanku untuk setangkai mawar itu mungkin tak sewajarnya. Ia membuatku jadi orang bodoh yang senang melakukan hal-hal bodoh.

Akh, aku benar-benar bodoh. Terlebih ketika aku begitu saja mempercayai ucapan temanku. Tahukah kau yang ia katakan? Ia bilang, engkau suka mawar. Ya, cukup setangkai saja. Hanya setangkai. Aku percaya.

Hari ketika aku mengajakmu, aku senang bukan kepalang. Diam-diam aku membawa serta setangkai mawar itu. Kusembunyikan dalam saku bajuku. Aku menunggu waktu yang tepat untuk memberikannya padamu. Sebegitu yakinnya aku bahwa engkau akan menyukainya, lantas menghadiahkanku satu senyumanmu.

Hingga saat itu, aku benar-benar tidak tahu, engkau benci mawar itu. Bukan mawarku, namun semua mawar yang pernah kau lihat. Engkau mencampakkan mawarku. Engkau menjauh dariku.

Maafkan aku...

Jika mawar-mawar itu memang menyakitimu. Aku sungguh tak pernah tahu, engkau benci mawar. Engkau membenciku yang telah menunjukkan mawar itu. Tapi ketahuilah, sampai kapanpun aku takkan pernah bisa membencimu, bahkan jika engkau tak lagi peduli padaku. Aku bahagia melihatmu tersenyum, karena mawar itu yang selalu ingin kujaga....

*******

Nyaris saja ia meneteskan air mata membaca surat itu. Surat yang kemarin diantarkan oleh Dian, teman satu kampusnya. Namun ia membiarkannya tergeletak di meja kamarnya begitu saja. Tak peduli. Baru hari ini rasa penasarannya sedikit tersibak dan memaksakan diri untuk membaca surat itu.

Ia menarik napas dalam-dalam. Ia tak menyangka kebenciannya pada bunga mawar bisa membawanya segundah ini. Berulang kali ia jatuh cinta dan berganti pasangan, tak pernah sekali ini ia begitu sesak. Mudah baginya jika ingin menarik perhatian lelaku lain. Parasnya yang cantik menjadi obrolan hangat setiap lelaki di kampusnya. Namun, ada sesuatu berbeda yang ia rasakan dari sekadar jalinan pertemanan dengan Galih. Lelaki itu, tidak seperti lelaki lainnya yang selama ini dikenalnya termasuk Andre, pacarnya sendiri. Begitu polosnya, apakah Galih tidak tahu bahwa aku sudah punya kekasih?

"Kau memang bodoh," Ia tersenyum simpul seraya mengusap matanya yang berkaca-kaca.

Masih hangat dalam ingatannya, kejadian dua hari lalu. Galih mengajaknya jalan-jalan menikmati senja di pinggir pantai. Ia sendiri tidak tahu ada angin apa yang mendorong Galih begitu "berani" mengajaknya, pun ia sendiri sudah lama menantikan saat-saat seperti itu.

Sepanjang sore, sepanjang pantai, ia duduk menemani Galih yang lebih banyak bercerita tentang kampung halamannya, keluarganya, bahkan mimpinya. Ia kadang tertawa sendiri melihat Galih bercerita melompat-lompat dari topik yang satu berpindah ke topik yang lainnya. Sejenak, bebannya yang menggunung luluh seketika. Sesekali ia hanya mengangguk menanggapi cerita Galih atau sekadar menjawab singkat ketika ditanya mengenai sesuatu.

"Apa kau tahu mengapa aku begitu suka bercerita?" tanya Galih di tengah-tengah kisahnya. Hening. Ia berhenti sejenak, menghembuskan napas, melanjutkan kalimatnya, "Karena aku berharap bisa menuliskannya di atas kertas. Semakin mudah aku bercerita, semakin mudah pula aku menuliskannya,"

Mendengar hal itu, raut wajah Rosa seketika berubah. Ia tersadar sesuatu. Sesuatu yang berbeda pada dirinya. Galih berbeda dengan pacar-pacarnya sebelumnya, ataupun yang sekarang. Ia tidak tahu, apakah ia kemudian suka dengan Galih.

Akan tetapi, belum sempat ia jauh berpikir, Galih sudah menyodorkan setangkai mawar padanya. Begitu saja. Tanpa diduganya. Tanpa sepatah kata. Ia sekilas hanya melihat senyuman di garis bibir Galih. Ia hanya bisa terpaku menatap mawar itu.

Galih pun tanpa menduga sebelumnya, melihat Rosa sudah berdiri dari duduknya. Menjauh. Pergi begitu saja. Tanpa mengucap sepatah kata. Rosa tak peduli lagi pada Galih. Yang dipikirkannya kini, menjauh dari jangkauan Galih. Bahkan ia tidak lagi mendengar suara Galih yang memanggilnya, karena memang Galih takkan punya keberanian menahan dirinya.

"Andai saja si bodoh itu memanggilku. Apa susahnya sih sekadar memanggil namaku? Menahanku disana?" pikirnya berkali-kali.

Nada dering Wish You Were Here dari ponsel di dekatnya mengalihkan sejenak perhatiannya dari sepucuk kertas di tangannya. Ia meraih ponsel di sampingnya. Sebuah sms dari Dian.

"Ros, makalah.a ud kelar, kan?  Ingat! Hr ni gliran qt presntase."

Ia membalasnya, "Beres, tuan putri... Btw, yg bener i2 presentasi. :p"

Hal yang sudah menjamur di kalangan mahasiswa di kampusnya, menyebut presentasi dengan kata presentase. Kebiasaan yang salah. Padahal sudah berulangkali ia mengingatkan teman-temannya, mengoreksi penyebutannya. Masih saja lidah mereka "terpeleset" menyebutkan kata presentasi.

"Iya, iya. Presentasi. :p" balas Dian.

Pagi ini, Rosa harus menyiapkan serangkaian tugas paper miliknya. Setelah menanti tiga minggu lamanya, giliran presentasinya tiba juga. Ia pun sudah jauh-jauh hari mempersiapkan presentasinya nanti. Ia yakin, hasilnya akan memuaskan.

*******

"Apakah kau tahu mengapa aku membenci mawar?" Galih diam tidak menanggapi pertanyaan Rosa. Riuh suara pengunjung kantin siang itu melingkupi keduanya. Tak hening.

"Kau tahu, mengapa namaku Rosa?" Pelan, ia bertanya lagi pada Galih yang sedari tadi hanya menunduk mengaduk-aduk minuman di depannya. Tak dijawab, ia melanjutkan, "Sejak dulu, ibuku begitu cinta dengan segala jenis mawar. Ayah tahu hal itu. Setiap waktu, setiap ulang tahun, setiap perayaan, ibuku selalu dihadiahi bunga mawar. Kata ayah, itu sebagai bentuk kasih sayangnya pada ibu. Sampai ketika aku lahir, ibu pun menghadiahiku nama Rosa Arumi. Berharap aku secantik bunga mawar miliknya," Ia berhenti sejenak. Berharap mendengar sepatah kata dari laki-laki di hadapannya itu, walau cuma kata "Terus?"

"Keluarga yang bahagia tampaknya memang, hingga seseorang mengacaukannya. Ah, tidak, ia baru menampakkannya. Ayah telah lama berpaling padanya. Jauh sebelum ayah memandikan ibu dengan mawar-mawarnya, yang ternyata hanya sebuah kedok cintanya. Ayah tidak pernah benar-benar mencintai ibu. Mawar itu palsu. Mawar itu busuk. Karena ayah akhirnya pergi meninggalkan kami. Membiarkan ibu terluka, hingga ke lubuk hatinya...... hingga harus menanggung......bebannya....... di rumah...sa...kit," Ia terisak. Air matanya menetes perlahan. Ia menunduk. Tak sanggup bercerita lebih jauh. Ingin rasanya ia pergi saja, berlari dari hadapan Galih seperti sebelumnya.

Galih ingin meraih tangannya. Menenangkannya. Apa daya, ia bukan siapa-siapa baginya. Ia tak cukup "berani" bertaruh dengan perasaannya. Ia terlalu takut. Takut sekali. Sama sekali.

*******

Angin semilir menyibak kulit keduanya. Debur ombak memecah karang-karang kecil yang dilaluinya. Dua-tiga orang anak kecil bermain, saling mencipratkan air pada sesamanya. Berkejaran di batas air dan daratan. Ayah dan ibu mereka tak melerai. Sibuk bercengkerama berdua. Sesekali, memanggil satu-satu nama mereka.

Sore itu, senja terlihat begitu mempesona di batas cakrawala. Kilau mataharinya memantul, memberikan kesan halus jingga di setiap permukaan awannya.

"Oh ya, apakah kau tahu mengapa langit senja berwarna jingga?" Galih bertanya padanya. Ia yang duduk di samping Galih hanya bisa menggeleng pelan sambil memainkan setangkai mawar di tangannya. Mengelus kelopaknya. Teduh.

"Senja itu menandakan pergantian waktu. Tanpa kita sadari, malaikat-malaikat Tuhan naik melesat ke atas langit. Tugas mereka hari itu usai. Mereka telah mendoakan makhluk-makhluk Tuhan di bumi. Mereka yang ribuan jumlahnya kembali ke peraduannya di langit, meninggalkan warna jingga di langit sore," ujarnya sambil menatap matahari yang nyaris tenggelam di batas cakrawala. (*)


--Imam Rahmanto--

Makassar, 7/6-2012

You Might Also Like

0 comments