Keberanian Di Tengah Keramaian
April 21, 2010Baca Juga
Sinar mentari pagi mulai menempatkan wajahnya yang kemilau. Menebarkan kehangatan kepada semua makhluk di bumi ini. Angin malam masih cukup terasa di kulitku. Silih berganti dengan kehangatan sang mentari.
Makhluk-makhluk di bumi mulai keluar dari tempat persembunyiannya. Mencari rezeki Tuhan yang bertebaran di muka bumi. Tak berbeda. Pasar Sentral Sudu mulai riuh dipadati oleh para penjual. Semua sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Menyiapkan barang-barang dagangan. Hal yang sama juga sedang terjadi di tempatku berada sekarang. Toko milik ayahku.
Libur semester. Waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua pelajar dimana saja berada. Termasuk aku sendiri. Tapi aku tidak menghabiskannya dengan liburan ke tempat-tempat yang asyik. Aku lebih memilih membantu ayahku di pasar.
Aku sedang sibuk menyiapkan semua perabotan rumah tangga yang akan dijual. Hal seperti ini sudah biasa aku kerjakan setiap hari. Membantu ayah menyiapkan barang dagangannya sekaligus membantu melayani pembeli. Selain aku, tidak ada lagi yang bias membantu ayahku. Dua kakakku sedang melanjutkan sekolah di Bandung. Sedangkan Ibuku, sejak dua tahun yang lalu dia sudah menghadap Ilahi. Bagiku hal itu memang menyakitkan. Akan tetapi, ayah telah mengajariku bahwa sebagai seorang lelaki kita tidak boleh menangisi masa lalu. Kita harus melihat ke depan, karena masih banyak mimpi yang perlu tangan untuk menggapainya.
“Dani, tolong panci itu dibawa keluar, ya.” pinta ayahku sambil menunjuk pada panci di
sebelahku yang berukuran besar.
“Baik, Yah. Lalu rak yang ini ditaruh dimana?” tanyaku kembali sambil menunjuk rak di
sebelah panci itu.
“Itu biarkan di dalam saja. Lagipula kalau dibawa keluar nanti menghalangi pandangan
pembeli.”
“Terserah Ayah, deh.”
Aku keluar ke teras toko sambil membawa panci yang dimaksud oleh Ayah. Aku menyusunnya dengan panci-panci yang lain. Penduduk pasar masih ramai dengan barang-barangnya masing-masing. Tidak mempedulikan satu sama lain. Hanya bias mangumbar senyum satu sama lain. Semua sibuk.
* * * * * * *
“Ayah, ini harganya berapa?”
Aku masuk ke dalam toko menemui ayahku sambil membawa sebuah wajan penggorengan. Kebetulan aku belum tahu pasti harga barang yang kubawa. Padahal di luar toko sudah ada seseorang yang ingin membelinya.
“Itu, harganya Rp 25.000,00. Kamu tolong layani pembeli di luar, ya. Ayah sedang sibuk mencatat semua barang-barang kita.”
“Baik, Yah.”
Aku keluar menuju tempat pembeli yang berada di teras toko.
“Ini harganya Rp 25.000,00, Bu. Ibu mau ambil yang ini?” tanyaku sambil meyodorkan wajan tersebut.
“Iya, nak. Kalau begitu ini uangnya.”
Ibu itu menyerahkan sejumlah uang padaku. Aku menerimanya sambil membalas senyumannya.
“Satu lagi, nak. Bisa tidak kalau wajan ini saya titip dulu disini. Nanti sehabis berbelanja
saya ambil.”
“Boleh, kok Bu.”
“Terima kasih, ya.”
“Sama-sama.”
Kupandangi jam yang tertempel di dinding. Jarum jamnya menunjuk pada angka sepuluh. ternyata waktu berlalu tanpa terasa. Panas matahari mulai membara di arena pertarungan antara penjual dan pembeli ini. Berbaur dengan keringat para pekerja buruh kasar. Berinterferensi dengan lolongan para penjual ikan yang ada di sekitar pinggiran pasar. Sedangkan para pembelinya hanya berbisik pelan.
Aku teringat. Kemarin aku menjatuhkan sebuah uang sepuluhribuan di bawah rak plastic yang ada di sampingku. Tanpa pikir panjang aku lalu mencarinya. Namun, baru beberpa menit aku mencari, lalu datang seseorang ke toko. Aku tidak tahu siapa.
Aku melihat seseorang dengan perawakan tinggi besar. wajahnya yang garang mungkin akan membuat takluk orang yang melihatnya. Tubuhnya terbalut oleh gambar-gambar tato disana-sini. Tangannya yang mengepal dilengkapi dengan berbagai pernak-pernik yang menakutkan.
“Hei! Setor uang keamanan!!”
Orang itu setengah berteriak padaku.
“Maaf, memangnya anda ini siapa. Perasaan baru kali ini saya dimintai uang keamanan.” jawabku sambil berlagak.
“Berengsek! Baru kali ini saya dapat orang seperti kamu. Memangnya kamu belum tahu siapa saya? He?!” teriakan orang itu semakin menjadi.
“Maaf. Orang yang menjaga keamanan disini sudah ada. Jadi anda tidak perlu repotrepot
meminta uang keamanan.”
“Berengsek!!”
Dia menendang perabotan yang ada di depannya. Mencengkeram kerah bajuku. Aku pun naik pitam. Aku berusaha terlepas dari cengkeramannya. Aku meronta.
“Kamu mau macam-macam, ya. Masih anak ingusan.”
Orang-orang di sekitar toko ayahku hanya melihat ketakutan saja. Mereka tidak berani berbuat apa-apa. Aku berusaha lepas dari cengkeramannya dengan berusaha memukul perutnya sekuat tenaga. Dia pun limbung. Pukulanku melayang sekali lagi. Akhirnya dia tersungkur di tanah.
“Ayo kalau berani!” tantangku.
Mendengar suara-suara ribut di luar, ayahku segera keluar toko. Dia terkejut melihat hal yang sedang terjadi padaku. Tanpa pikir panjang ayah langsung meleraiku. Walaupun aku belum sempat membuatnya kapok.
“Sudah, Dani.”
“Tapi, Ayah………”
“Ah, sudahlah. Jangan cari masalah.”
Ayah menarikku menjauh dari preman pasar itu. Bersamaan dengannya, orang-orang yang ada di sekitar pasar sudah berkerumun ingin melihat apa yang sedang terjadi. Preman yang tadi beradu kekuatan denganku telah pergi menghilang di antara kerumunan orang. Dia pergi begitu saja. Aku merasa hari ini sudah menang.
Hal seperti itu sudah biasa aku lakukan di sekolahku. Baik dengan teman sekolahku maupun dengan orang dari luar sekolah. Persoalannya hanya hal kecil. Namun berbentukpenghinaan terhadapku. Aku tak bisa terima jika ada orang yang menginjak injak harga diriku. Dengan siapapun aku pasti akan membela diri. Kecuali pada ayahku. Hanya padanya dan Tuhan aku merasa kecil. Di depannya aku hanya diam.
* * * * * * *
Pasar kembali ramai. Semua orang sudah tidak teringat akan kejadian pagi tadi. Seakan-akan memori mereka terhapus oleh sesuatu. Satu-satunya yang mereka ingat adalah harga barang-barang dagangan mereka. Mereka tidak peduli dengan tetek-bengek premanpreman pasar. Selama mereka masih aktif memberi keinginan preman itu.
Sinar mentari sudah di atas kepala.
Aku tidak peduli. Aku hanyalah seorang remaja tujuh belas tahun yang berusaha untuk membela diri. Membela diri dari kekejaman pasar. Begitu pula aku di sekolah.
* * * * * * *
“Dani, kita makan ke kantin.” ajak salah seorang kawanku saat aku sedang mencatat beberapa materi Biologi. Meskipun sudah waktunya istirahat.
“Kamu duluan, deh.”
“Ayolah. Kamu kan sahabatku. Masa kamu tega membiarkan aku sendiri di kantin.”
“Mm…iya deh. Tapi kamu yang traktir, ya.” godaku.
“Beres. Itu semua bisa diatur.”
Aku merapikan bukuku. Menyimpannya dalam tasku.
Kami menuju ke salah satu kantin yang sering kami kunjungi. Makan. Itu satu-satunya tujuan ke kantin. Jaraknya agak jauh dari kelas Biologi yang berada di sebelah timur sekolah. Itu bukan menjadi masalah yang perlu dipikirkan.
“Bu, nasi campurnya dua piring.” pesan Aldi pada Ibu kantin setiba di kantin.
Aku hanya ikut saja. Toh, bukan aku yang bayar. Aku hanya sibuk memandangi siwa yang duduk di samping meja tempat kami berada. Mejanya berdekatan dengan meja Ibu kantin. Siswa itu bersama empat kawan sedang menikmati asap rokok untuk memenuhi paru-parunya dengan racun. Aku tidak begitu peduli dengan rokok mereka, tapi mereka terlihat begitu angkuh. Mereka tertawa mendengar lelucon yang dikeluarkan oleh salah seorang diantara mereka. Aku tidak peduli.
“Dani, ayo makan.”
Aldi meletakkan sepiring nasi campur di depanku. Aku menyambutnya dengan melahapnya. Seperti orang kelaparan. Karena memang aku sedang kelaparan.
Tidak lama berselang, aku dan Aldi telah selesai dengan acara makan di kantin. Aku mengantar Aldi ke meja Ibu kantin untuk membayar makanan tadi. Ternyata kegiatan bayar-membayar tidak semulus yang kami duga. Salah seorang siswa mengepulkan asap rokonya ke arahku. Dia seakan-akan mengejekku.
“Maaf. Disini bukan tempat siswa untuk merokok. Kalau mau merokok, cari tempat lain
saja.”
Aku mencoba untuk sekedar menegurnya. Tapi percuma, dia tidak mempedulikanku.
“Memangnya kamu ini siapa ? Berani-beraninya menantang kami.”
Rahmat, salah satu dari mereka berdiri di hadapanku. Menantang.
“Saya bukan siapa-siapa. Tapi saya berhak melarang kalian merokok disini. Kalian menganggu orang yang makan disini!” seruku.
“Sudahlah, Dani. Kita pergi saja dari sini.” ajak Aldi padaku.
“Tidak semudah itu kalian bisa pergi.”
Rahmat mendorongku. Kelima siswa itu berusaha menghadang kami. Mereka ingin berkelahi. Hal itu memaksa aku dan Aldi harus melayani tantangan mereka.
Sempat terdengar suara para penghuni kantin yang lain. Melerai, mendukung, menyemangati. Kini, kantin ramai dengan suara teriakan anak-anak lain.
Tak berselang, kami pun terhanyut dalam pergumulan. Pukul-memukul. Tendang-menendang. Jambak-menjambak rambut pun tak bisa dihindarkan. Anak-anak yang lain berusaha melerai, namun kami tetap bersikeras menaklukkan satu sama lain. Sehingga mereka tak kuasa menghindarkan kami dari perkelahian yang cukup panas ini. Meskipun pihak kami hanya berdua, namun itu sudah cukup untuk membuat pertarungan ini menjadi seimbang.
Tubuhku terasa lebam, namun semua itu terbayar dengan pukulanku yang selalu tepat
sasaran mengenai wajah beberapa dari kelima anak itu. Aldi juga terlihat lebam. Beberapa kali kulihat Aldi jatuh tersungkur. Mau tidak mau aku harus membantunya, karena dia tidak berpengalaman dalam pekerjaan seperti ini.
Tiba-tiba suara gemuruh kantin sekonyong-konyong hilang. Semua siswa terdiam. Seperti melihat hantu, mereka tidak dapat berkata apa-apa lagi. Telingaku sempat mendengar sebuah suara yang tidak asing. Suara itu selalu menggema di dalam kelas Kewarganegaraan. Suara itu pula yang sering menghukumku. Pak Jayadi.
“Hei! Ada apa ini!?
Suara itu terdengar lantang. Sekejap saja pertarungan berhenti. Semua yang menjadi peserta pertarungan hanya saling memandang satu sama lain. Termasuk aku dan Aldi yang penuh dengan lebam disana-sini. Diam seribu bahasa.
“Semuanya! Ikut saya ke kantor!” teriak Pak Jayadi sambil memperlihatkan bola matanya yang hitam pada kami. Melotot. Tidak tahu ke arah siapa.
* * * * * *
“Kalian semua saya skorsing selama tiga hari. Kecuali kalian Rahmat. Kamu dan keempat temanmu saya kasih cuti selama satu minggu!”
“Tapi, Pak…….”
“Alah, tidak ada alasan. Kalian lebih bersalah dibandingkan Aldi dan Dani. Kalian sudah merokok di lingkungan sekolah. Itu berarti kalian melanggar tata tertib sekolah. Paham!!”
“Paham, Pak.”
Rahmat dan kawannya serentak menjawab. Mereka hanya tertunduk tidak mampu menatap wajah Pak Marwan, Guru BK di sekolah kami. Sedangkan kami tersenyum puas. Kemenangan sudah kami dapatkan.
* * * * * * *
Suara riuh pasar sudah mulai berkurang. Suara-suara pedagang yang tadinya membahana di udara telah menguap bersama mentari yang condong ke arah barat. Menandakan kegiatan orang-orang di pasar akan segera berakhir.
Kegiatan di toko ayahku masih belum berakhir. Masih ada segelintir orang yang perlu kulayani. Ayahku juga turut turun tangan. Baru beberapa menit kemudian semua kesibukan itu berakhir. Hasil yang memuaskan pun tak luput dari toko kami.
Aku kemudian membantu ayahku membereskan semua barang dagangannya.
“Permisi.”
Sebuah suara wanita menggema di luar sana. Aku segera keluar untuk melayani pelanggan.
“Ada yang bisa saya bantu ?” tanyaku sambil tersenyum.
Dugaanku tidak salah. Seorang gadis cantik sedang berdiri di hadapanku.
“Maaf, saya mau mengambil barang titipan Tante saya. Katanya dia tadi pagi titip barang
disini.”
Aku berpikir sejenak. Mencoba mengingat-ingatnya.
“O, itu ya. Tante yang agak gemuk dan memakai baju warna merah, ya ?”
“Betul. Kebetulan Tante saya lupa kalau ada barang titipannya disini. Dia baru ingat setibanya di rumah. Saya disuruhnya untuk mengambilnya.”
“Baiklah. Tunggu sebentar, ya.”
Aku masuk ke dalam mengambil wajan yang tadi pagi dibeli oleh Tante gadis itu.
“Ini,” kataku sambil menyerahkan panci itu.
“Terima kasih.”
Dia berlalu setelah menerima panci itu. Menghilang di antara blok-blok pasar ini. Aku hanya bisa memandanginya dari kejauhan. Sehingga tanpa kusadari ayah sudah berada di sampingku.
“Itu namanya Siska. Keponakannya Bu Yasni. Itu lho, yang tadi pagi beli panci.”
Tanpa ditanya, ayah menjelaskan. Dia tersenyum seakan mengerti isi hatiku. Aku hanya terdiam manggut-manggut. ternyata ayah adalah ayah yang mengerti. Maluy untuk mencari tahu hal yang lain.
“Dani, nanti sehabis kamu angkat barang-barang itu, kamu langsung pulang, ya. Kamu duluan saja. nanti ayah menyusul. Ayah masih harus menutup toko ini.” teriak ayahku dari dalam toko.
“Baik, Yah.” jawabku.
* * * * * *
Mega merah mulai terlihat di ufuk barat. Senja hari seakan tinggal menunggu sang waktu untuk berganti. Suasana pasar sekarang begitu sepi. Semua pedagang di pasar ini mungkin sudah sampai di rumahnya masing-masing. Aku masih berada di sekitar pasar. Menunggu ayahku yang belum selesai menutup toko. Meskipun aku sudah disuruh ayahku untuk pulang duluan, namun aku tetap mau menunggu ayahku di sini.
Jam di tanganku menunjukan pukul lima.
Cukup lama aku menunggu. Menunggu. Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Aku hanya berharap ayahku cepat nampak dari balik blok-blok pasar ini.
Harapanku terkabul. Seseorang mendekat dari dalam pasar. Aneh. Tapi bukan berasal dari blok toko ayahku. Orang itu tidak sendiri. Ada sekitar tiga orang yang menemaninya.
Terlihat bayangannya oleh mentari senja. Sepertinya mereka ingin menemuiku.
Ketika mereka telah nampak, aku terkejut melihatnya. Salah seorang dari mereka adalah preman pasar yang kemarin pagi telah aku permalukan di tengah pasar. Gawat. Pasti dia datang ke sini untuk membuat perhitungan denganku. Sehingga dia membawa kawankawannya.
Aku berniat untuk lari, tapi ayah pernah berkata, “Jangan pernah lari dari masalah.” Aku memutuskan untuk menghadapi mereka sendiri disini. Lagipula bukan aku yang bersalah.
Mereka sudah berada di hadapanku.
“Hei, kita ketemu lagi. Tapi kali ini kamu tidak akan berani macam-macam.” Kata preman yang kemarin kuhajar.
“Beraninya bawa orang. Satu lawan satu, dong.”
Aku berusaha untuk menantangnya. Aku berpikir tidak mungkin mengalahkan mereka semua yang berbadan lebih besar dariku.
“Ayo, kita hajar saja!” teriak salah seorang dari mereka.
Serentak mereka berempat mengepungku. Aku mencoba untuk menghindar dari mereka. Tapi, pukul-memukul tak elak lagi terhindarkan. Aku sempat melayangkan beberapa pukulanku. Tapi pukulan mereka jauh lebih banyak dan sakit kurasakan. Sekitar wajahku. Sekitar dadaku. Sekitar perutku. Sekitar kakiku. Semua terasa sakit sekali. Membuatku tak tahu lagi apa yang sedang terjadi. Malam begitu cepat berlalu di mataku. Semua menjadi gelap. Aku tak sadarkan diri.
* * * * * * *
Aku terbangun dari tidurku. Mataku terbuka sangat perlahan. Sekujur badanku terasa sakit. Aku tidak tahu mengapa. Padahal aku baru saja bermimpi. Aku mencoba mengamati sekelilingku. Hanya warna putih yang bisa kulihat. Tembok berwarna putih. Kain gorden berwarna putih. Dan aroma yang sangat menyengat. Bau obat-obatan. Aku baru bisa sadar sepenuhnya saat melihat ayahku ada di sampingku. Aku sedang berada di Puskesmas.
Aku mencoba bangun. Meski agak sulit, tapi berhasil. Ayah membantuku.
“Apa yang telah terjadi, Yah ?” tanyaku ingin tahu sambil mengambil gelas berisi airdi meja samping ranjangku.
“Kamu tadi sore ayah temukan sedang dikeroyok oleh preman-preman itu. Kamu pingsan.” jelas ayahku.
“Lalu, preman-preman itu bagaimana ?” tanyaku lagi.
“Mereka sudah diurus polisi karena mengganggu keamanan. Ketika kamu dikeroyok, ayah meminta bantuan kepada orang-orang yang masih berada di pasar. Mereka segera membantu ayah karena tidak tahan melihatmu dikeroyok. Akhirnya preman itu kalang kabut dan ayah segera menghubungi polisi.” jelas ayahku panjang lebar.
Aku mendengarkan penjelasan ayahku. Aku tersenyum.
“Kenapa kamu senyum-senyum ?” tanya ayahku.
“Tidak apa-apa.”
“Berarti sekarang pasar akan aman dari gangguan para preman itu, ya ?”
“Ya, begitulah. Tapi sekarang kamu harus berjanji pada ayah agar tidak berkelahi lagi.”
“Kalau mendesak, Yah ?”
“Tidak ada kata-kata mendesak. Kamu harus janji.”
“Baik, Yah.”
Aku pasrah. Lebih baik seperti itu daripada melihat ayahku bersedih. Aku berjanji pada ayahku,. tidak akan berkelahi lagi. Tidak lagi mencari masalah. Terutama di sekolah. Aku ingin mengabulkan harapan ayahku. Menjadi orang yang sukses di kemudian hari.
* * * * * * *
Sumpeknya udara pasar kembali terasa di kulitku. Debu pasar beterbangan kesanakemari. Suara penghuni pasar kembali bergema di tempat ini. Memulai kembali kehidupa pasar.
Pagi ini aku masih membantu ayahku. Setelah dua hari berdiam diri di rumah, aku kembalii membantu ayahku di pasar. Di pasar ini, aku merasa seperti orang yang baru. Bergantian pedagang yang ada di sekitar toko milik ayahku meanyakan kabarku. Ada yang berusaha menghiburku, bahkan ada pula yang memuji atas keberanianku.
“Hidup ini memang indah.” pikirku.
Dalam suasana seperti ini, seseorang datang ke toko ayahku.
“Permisi, saya mau mencari hiasan dinding. Apa ada ?”
Sebuah suara segera mengajakku kembali untuk aktif dalam kegiatan pasar. Seseorang yang aku kenal. Dia tersenyum padaku. Siska. Itulah nama yang kuingat. Ternyata Tuhan masih sayang padaku. Aku dengan segera melayaninya. Bersemangat. Suasana pasar tidak akan pernah berubah. Penuh sesak manusia yang menghabiskan uangnya. Ribut oleh suara manusia yang sahut-menyahut. Berbaur dengan aroma tubuh manusia yang terpanggang panasnya mentari. Mentari yang kadang bersahabat dengan kita. Mentari yang kadang tak bersahabat dengan kita.
Makhluk-makhluk di bumi mulai keluar dari tempat persembunyiannya. Mencari rezeki Tuhan yang bertebaran di muka bumi. Tak berbeda. Pasar Sentral Sudu mulai riuh dipadati oleh para penjual. Semua sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Menyiapkan barang-barang dagangan. Hal yang sama juga sedang terjadi di tempatku berada sekarang. Toko milik ayahku.
Libur semester. Waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua pelajar dimana saja berada. Termasuk aku sendiri. Tapi aku tidak menghabiskannya dengan liburan ke tempat-tempat yang asyik. Aku lebih memilih membantu ayahku di pasar.
Aku sedang sibuk menyiapkan semua perabotan rumah tangga yang akan dijual. Hal seperti ini sudah biasa aku kerjakan setiap hari. Membantu ayah menyiapkan barang dagangannya sekaligus membantu melayani pembeli. Selain aku, tidak ada lagi yang bias membantu ayahku. Dua kakakku sedang melanjutkan sekolah di Bandung. Sedangkan Ibuku, sejak dua tahun yang lalu dia sudah menghadap Ilahi. Bagiku hal itu memang menyakitkan. Akan tetapi, ayah telah mengajariku bahwa sebagai seorang lelaki kita tidak boleh menangisi masa lalu. Kita harus melihat ke depan, karena masih banyak mimpi yang perlu tangan untuk menggapainya.
“Dani, tolong panci itu dibawa keluar, ya.” pinta ayahku sambil menunjuk pada panci di
sebelahku yang berukuran besar.
“Baik, Yah. Lalu rak yang ini ditaruh dimana?” tanyaku kembali sambil menunjuk rak di
sebelah panci itu.
“Itu biarkan di dalam saja. Lagipula kalau dibawa keluar nanti menghalangi pandangan
pembeli.”
“Terserah Ayah, deh.”
Aku keluar ke teras toko sambil membawa panci yang dimaksud oleh Ayah. Aku menyusunnya dengan panci-panci yang lain. Penduduk pasar masih ramai dengan barang-barangnya masing-masing. Tidak mempedulikan satu sama lain. Hanya bias mangumbar senyum satu sama lain. Semua sibuk.
* * * * * * *
“Ayah, ini harganya berapa?”
Aku masuk ke dalam toko menemui ayahku sambil membawa sebuah wajan penggorengan. Kebetulan aku belum tahu pasti harga barang yang kubawa. Padahal di luar toko sudah ada seseorang yang ingin membelinya.
“Itu, harganya Rp 25.000,00. Kamu tolong layani pembeli di luar, ya. Ayah sedang sibuk mencatat semua barang-barang kita.”
“Baik, Yah.”
Aku keluar menuju tempat pembeli yang berada di teras toko.
“Ini harganya Rp 25.000,00, Bu. Ibu mau ambil yang ini?” tanyaku sambil meyodorkan wajan tersebut.
“Iya, nak. Kalau begitu ini uangnya.”
Ibu itu menyerahkan sejumlah uang padaku. Aku menerimanya sambil membalas senyumannya.
“Satu lagi, nak. Bisa tidak kalau wajan ini saya titip dulu disini. Nanti sehabis berbelanja
saya ambil.”
“Boleh, kok Bu.”
“Terima kasih, ya.”
“Sama-sama.”
Kupandangi jam yang tertempel di dinding. Jarum jamnya menunjuk pada angka sepuluh. ternyata waktu berlalu tanpa terasa. Panas matahari mulai membara di arena pertarungan antara penjual dan pembeli ini. Berbaur dengan keringat para pekerja buruh kasar. Berinterferensi dengan lolongan para penjual ikan yang ada di sekitar pinggiran pasar. Sedangkan para pembelinya hanya berbisik pelan.
Aku teringat. Kemarin aku menjatuhkan sebuah uang sepuluhribuan di bawah rak plastic yang ada di sampingku. Tanpa pikir panjang aku lalu mencarinya. Namun, baru beberpa menit aku mencari, lalu datang seseorang ke toko. Aku tidak tahu siapa.
Aku melihat seseorang dengan perawakan tinggi besar. wajahnya yang garang mungkin akan membuat takluk orang yang melihatnya. Tubuhnya terbalut oleh gambar-gambar tato disana-sini. Tangannya yang mengepal dilengkapi dengan berbagai pernak-pernik yang menakutkan.
“Hei! Setor uang keamanan!!”
Orang itu setengah berteriak padaku.
“Maaf, memangnya anda ini siapa. Perasaan baru kali ini saya dimintai uang keamanan.” jawabku sambil berlagak.
“Berengsek! Baru kali ini saya dapat orang seperti kamu. Memangnya kamu belum tahu siapa saya? He?!” teriakan orang itu semakin menjadi.
“Maaf. Orang yang menjaga keamanan disini sudah ada. Jadi anda tidak perlu repotrepot
meminta uang keamanan.”
“Berengsek!!”
Dia menendang perabotan yang ada di depannya. Mencengkeram kerah bajuku. Aku pun naik pitam. Aku berusaha terlepas dari cengkeramannya. Aku meronta.
“Kamu mau macam-macam, ya. Masih anak ingusan.”
Orang-orang di sekitar toko ayahku hanya melihat ketakutan saja. Mereka tidak berani berbuat apa-apa. Aku berusaha lepas dari cengkeramannya dengan berusaha memukul perutnya sekuat tenaga. Dia pun limbung. Pukulanku melayang sekali lagi. Akhirnya dia tersungkur di tanah.
“Ayo kalau berani!” tantangku.
Mendengar suara-suara ribut di luar, ayahku segera keluar toko. Dia terkejut melihat hal yang sedang terjadi padaku. Tanpa pikir panjang ayah langsung meleraiku. Walaupun aku belum sempat membuatnya kapok.
“Sudah, Dani.”
“Tapi, Ayah………”
“Ah, sudahlah. Jangan cari masalah.”
Ayah menarikku menjauh dari preman pasar itu. Bersamaan dengannya, orang-orang yang ada di sekitar pasar sudah berkerumun ingin melihat apa yang sedang terjadi. Preman yang tadi beradu kekuatan denganku telah pergi menghilang di antara kerumunan orang. Dia pergi begitu saja. Aku merasa hari ini sudah menang.
Hal seperti itu sudah biasa aku lakukan di sekolahku. Baik dengan teman sekolahku maupun dengan orang dari luar sekolah. Persoalannya hanya hal kecil. Namun berbentukpenghinaan terhadapku. Aku tak bisa terima jika ada orang yang menginjak injak harga diriku. Dengan siapapun aku pasti akan membela diri. Kecuali pada ayahku. Hanya padanya dan Tuhan aku merasa kecil. Di depannya aku hanya diam.
* * * * * * *
Pasar kembali ramai. Semua orang sudah tidak teringat akan kejadian pagi tadi. Seakan-akan memori mereka terhapus oleh sesuatu. Satu-satunya yang mereka ingat adalah harga barang-barang dagangan mereka. Mereka tidak peduli dengan tetek-bengek premanpreman pasar. Selama mereka masih aktif memberi keinginan preman itu.
Sinar mentari sudah di atas kepala.
Aku tidak peduli. Aku hanyalah seorang remaja tujuh belas tahun yang berusaha untuk membela diri. Membela diri dari kekejaman pasar. Begitu pula aku di sekolah.
* * * * * * *
“Dani, kita makan ke kantin.” ajak salah seorang kawanku saat aku sedang mencatat beberapa materi Biologi. Meskipun sudah waktunya istirahat.
“Kamu duluan, deh.”
“Ayolah. Kamu kan sahabatku. Masa kamu tega membiarkan aku sendiri di kantin.”
“Mm…iya deh. Tapi kamu yang traktir, ya.” godaku.
“Beres. Itu semua bisa diatur.”
Aku merapikan bukuku. Menyimpannya dalam tasku.
Kami menuju ke salah satu kantin yang sering kami kunjungi. Makan. Itu satu-satunya tujuan ke kantin. Jaraknya agak jauh dari kelas Biologi yang berada di sebelah timur sekolah. Itu bukan menjadi masalah yang perlu dipikirkan.
“Bu, nasi campurnya dua piring.” pesan Aldi pada Ibu kantin setiba di kantin.
Aku hanya ikut saja. Toh, bukan aku yang bayar. Aku hanya sibuk memandangi siwa yang duduk di samping meja tempat kami berada. Mejanya berdekatan dengan meja Ibu kantin. Siswa itu bersama empat kawan sedang menikmati asap rokok untuk memenuhi paru-parunya dengan racun. Aku tidak begitu peduli dengan rokok mereka, tapi mereka terlihat begitu angkuh. Mereka tertawa mendengar lelucon yang dikeluarkan oleh salah seorang diantara mereka. Aku tidak peduli.
“Dani, ayo makan.”
Aldi meletakkan sepiring nasi campur di depanku. Aku menyambutnya dengan melahapnya. Seperti orang kelaparan. Karena memang aku sedang kelaparan.
Tidak lama berselang, aku dan Aldi telah selesai dengan acara makan di kantin. Aku mengantar Aldi ke meja Ibu kantin untuk membayar makanan tadi. Ternyata kegiatan bayar-membayar tidak semulus yang kami duga. Salah seorang siswa mengepulkan asap rokonya ke arahku. Dia seakan-akan mengejekku.
“Maaf. Disini bukan tempat siswa untuk merokok. Kalau mau merokok, cari tempat lain
saja.”
Aku mencoba untuk sekedar menegurnya. Tapi percuma, dia tidak mempedulikanku.
“Memangnya kamu ini siapa ? Berani-beraninya menantang kami.”
Rahmat, salah satu dari mereka berdiri di hadapanku. Menantang.
“Saya bukan siapa-siapa. Tapi saya berhak melarang kalian merokok disini. Kalian menganggu orang yang makan disini!” seruku.
“Sudahlah, Dani. Kita pergi saja dari sini.” ajak Aldi padaku.
“Tidak semudah itu kalian bisa pergi.”
Rahmat mendorongku. Kelima siswa itu berusaha menghadang kami. Mereka ingin berkelahi. Hal itu memaksa aku dan Aldi harus melayani tantangan mereka.
Sempat terdengar suara para penghuni kantin yang lain. Melerai, mendukung, menyemangati. Kini, kantin ramai dengan suara teriakan anak-anak lain.
Tak berselang, kami pun terhanyut dalam pergumulan. Pukul-memukul. Tendang-menendang. Jambak-menjambak rambut pun tak bisa dihindarkan. Anak-anak yang lain berusaha melerai, namun kami tetap bersikeras menaklukkan satu sama lain. Sehingga mereka tak kuasa menghindarkan kami dari perkelahian yang cukup panas ini. Meskipun pihak kami hanya berdua, namun itu sudah cukup untuk membuat pertarungan ini menjadi seimbang.
Tubuhku terasa lebam, namun semua itu terbayar dengan pukulanku yang selalu tepat
sasaran mengenai wajah beberapa dari kelima anak itu. Aldi juga terlihat lebam. Beberapa kali kulihat Aldi jatuh tersungkur. Mau tidak mau aku harus membantunya, karena dia tidak berpengalaman dalam pekerjaan seperti ini.
Tiba-tiba suara gemuruh kantin sekonyong-konyong hilang. Semua siswa terdiam. Seperti melihat hantu, mereka tidak dapat berkata apa-apa lagi. Telingaku sempat mendengar sebuah suara yang tidak asing. Suara itu selalu menggema di dalam kelas Kewarganegaraan. Suara itu pula yang sering menghukumku. Pak Jayadi.
“Hei! Ada apa ini!?
Suara itu terdengar lantang. Sekejap saja pertarungan berhenti. Semua yang menjadi peserta pertarungan hanya saling memandang satu sama lain. Termasuk aku dan Aldi yang penuh dengan lebam disana-sini. Diam seribu bahasa.
“Semuanya! Ikut saya ke kantor!” teriak Pak Jayadi sambil memperlihatkan bola matanya yang hitam pada kami. Melotot. Tidak tahu ke arah siapa.
* * * * * *
“Kalian semua saya skorsing selama tiga hari. Kecuali kalian Rahmat. Kamu dan keempat temanmu saya kasih cuti selama satu minggu!”
“Tapi, Pak…….”
“Alah, tidak ada alasan. Kalian lebih bersalah dibandingkan Aldi dan Dani. Kalian sudah merokok di lingkungan sekolah. Itu berarti kalian melanggar tata tertib sekolah. Paham!!”
“Paham, Pak.”
Rahmat dan kawannya serentak menjawab. Mereka hanya tertunduk tidak mampu menatap wajah Pak Marwan, Guru BK di sekolah kami. Sedangkan kami tersenyum puas. Kemenangan sudah kami dapatkan.
* * * * * * *
Suara riuh pasar sudah mulai berkurang. Suara-suara pedagang yang tadinya membahana di udara telah menguap bersama mentari yang condong ke arah barat. Menandakan kegiatan orang-orang di pasar akan segera berakhir.
Kegiatan di toko ayahku masih belum berakhir. Masih ada segelintir orang yang perlu kulayani. Ayahku juga turut turun tangan. Baru beberapa menit kemudian semua kesibukan itu berakhir. Hasil yang memuaskan pun tak luput dari toko kami.
Aku kemudian membantu ayahku membereskan semua barang dagangannya.
“Permisi.”
Sebuah suara wanita menggema di luar sana. Aku segera keluar untuk melayani pelanggan.
“Ada yang bisa saya bantu ?” tanyaku sambil tersenyum.
Dugaanku tidak salah. Seorang gadis cantik sedang berdiri di hadapanku.
“Maaf, saya mau mengambil barang titipan Tante saya. Katanya dia tadi pagi titip barang
disini.”
Aku berpikir sejenak. Mencoba mengingat-ingatnya.
“O, itu ya. Tante yang agak gemuk dan memakai baju warna merah, ya ?”
“Betul. Kebetulan Tante saya lupa kalau ada barang titipannya disini. Dia baru ingat setibanya di rumah. Saya disuruhnya untuk mengambilnya.”
“Baiklah. Tunggu sebentar, ya.”
Aku masuk ke dalam mengambil wajan yang tadi pagi dibeli oleh Tante gadis itu.
“Ini,” kataku sambil menyerahkan panci itu.
“Terima kasih.”
Dia berlalu setelah menerima panci itu. Menghilang di antara blok-blok pasar ini. Aku hanya bisa memandanginya dari kejauhan. Sehingga tanpa kusadari ayah sudah berada di sampingku.
“Itu namanya Siska. Keponakannya Bu Yasni. Itu lho, yang tadi pagi beli panci.”
Tanpa ditanya, ayah menjelaskan. Dia tersenyum seakan mengerti isi hatiku. Aku hanya terdiam manggut-manggut. ternyata ayah adalah ayah yang mengerti. Maluy untuk mencari tahu hal yang lain.
“Dani, nanti sehabis kamu angkat barang-barang itu, kamu langsung pulang, ya. Kamu duluan saja. nanti ayah menyusul. Ayah masih harus menutup toko ini.” teriak ayahku dari dalam toko.
“Baik, Yah.” jawabku.
* * * * * *
Mega merah mulai terlihat di ufuk barat. Senja hari seakan tinggal menunggu sang waktu untuk berganti. Suasana pasar sekarang begitu sepi. Semua pedagang di pasar ini mungkin sudah sampai di rumahnya masing-masing. Aku masih berada di sekitar pasar. Menunggu ayahku yang belum selesai menutup toko. Meskipun aku sudah disuruh ayahku untuk pulang duluan, namun aku tetap mau menunggu ayahku di sini.
Jam di tanganku menunjukan pukul lima.
Cukup lama aku menunggu. Menunggu. Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Aku hanya berharap ayahku cepat nampak dari balik blok-blok pasar ini.
Harapanku terkabul. Seseorang mendekat dari dalam pasar. Aneh. Tapi bukan berasal dari blok toko ayahku. Orang itu tidak sendiri. Ada sekitar tiga orang yang menemaninya.
Terlihat bayangannya oleh mentari senja. Sepertinya mereka ingin menemuiku.
Ketika mereka telah nampak, aku terkejut melihatnya. Salah seorang dari mereka adalah preman pasar yang kemarin pagi telah aku permalukan di tengah pasar. Gawat. Pasti dia datang ke sini untuk membuat perhitungan denganku. Sehingga dia membawa kawankawannya.
Aku berniat untuk lari, tapi ayah pernah berkata, “Jangan pernah lari dari masalah.” Aku memutuskan untuk menghadapi mereka sendiri disini. Lagipula bukan aku yang bersalah.
Mereka sudah berada di hadapanku.
“Hei, kita ketemu lagi. Tapi kali ini kamu tidak akan berani macam-macam.” Kata preman yang kemarin kuhajar.
“Beraninya bawa orang. Satu lawan satu, dong.”
Aku berusaha untuk menantangnya. Aku berpikir tidak mungkin mengalahkan mereka semua yang berbadan lebih besar dariku.
“Ayo, kita hajar saja!” teriak salah seorang dari mereka.
Serentak mereka berempat mengepungku. Aku mencoba untuk menghindar dari mereka. Tapi, pukul-memukul tak elak lagi terhindarkan. Aku sempat melayangkan beberapa pukulanku. Tapi pukulan mereka jauh lebih banyak dan sakit kurasakan. Sekitar wajahku. Sekitar dadaku. Sekitar perutku. Sekitar kakiku. Semua terasa sakit sekali. Membuatku tak tahu lagi apa yang sedang terjadi. Malam begitu cepat berlalu di mataku. Semua menjadi gelap. Aku tak sadarkan diri.
* * * * * * *
Aku terbangun dari tidurku. Mataku terbuka sangat perlahan. Sekujur badanku terasa sakit. Aku tidak tahu mengapa. Padahal aku baru saja bermimpi. Aku mencoba mengamati sekelilingku. Hanya warna putih yang bisa kulihat. Tembok berwarna putih. Kain gorden berwarna putih. Dan aroma yang sangat menyengat. Bau obat-obatan. Aku baru bisa sadar sepenuhnya saat melihat ayahku ada di sampingku. Aku sedang berada di Puskesmas.
Aku mencoba bangun. Meski agak sulit, tapi berhasil. Ayah membantuku.
“Apa yang telah terjadi, Yah ?” tanyaku ingin tahu sambil mengambil gelas berisi airdi meja samping ranjangku.
“Kamu tadi sore ayah temukan sedang dikeroyok oleh preman-preman itu. Kamu pingsan.” jelas ayahku.
“Lalu, preman-preman itu bagaimana ?” tanyaku lagi.
“Mereka sudah diurus polisi karena mengganggu keamanan. Ketika kamu dikeroyok, ayah meminta bantuan kepada orang-orang yang masih berada di pasar. Mereka segera membantu ayah karena tidak tahan melihatmu dikeroyok. Akhirnya preman itu kalang kabut dan ayah segera menghubungi polisi.” jelas ayahku panjang lebar.
Aku mendengarkan penjelasan ayahku. Aku tersenyum.
“Kenapa kamu senyum-senyum ?” tanya ayahku.
“Tidak apa-apa.”
“Berarti sekarang pasar akan aman dari gangguan para preman itu, ya ?”
“Ya, begitulah. Tapi sekarang kamu harus berjanji pada ayah agar tidak berkelahi lagi.”
“Kalau mendesak, Yah ?”
“Tidak ada kata-kata mendesak. Kamu harus janji.”
“Baik, Yah.”
Aku pasrah. Lebih baik seperti itu daripada melihat ayahku bersedih. Aku berjanji pada ayahku,. tidak akan berkelahi lagi. Tidak lagi mencari masalah. Terutama di sekolah. Aku ingin mengabulkan harapan ayahku. Menjadi orang yang sukses di kemudian hari.
* * * * * * *
Sumpeknya udara pasar kembali terasa di kulitku. Debu pasar beterbangan kesanakemari. Suara penghuni pasar kembali bergema di tempat ini. Memulai kembali kehidupa pasar.
Pagi ini aku masih membantu ayahku. Setelah dua hari berdiam diri di rumah, aku kembalii membantu ayahku di pasar. Di pasar ini, aku merasa seperti orang yang baru. Bergantian pedagang yang ada di sekitar toko milik ayahku meanyakan kabarku. Ada yang berusaha menghiburku, bahkan ada pula yang memuji atas keberanianku.
“Hidup ini memang indah.” pikirku.
Dalam suasana seperti ini, seseorang datang ke toko ayahku.
“Permisi, saya mau mencari hiasan dinding. Apa ada ?”
Sebuah suara segera mengajakku kembali untuk aktif dalam kegiatan pasar. Seseorang yang aku kenal. Dia tersenyum padaku. Siska. Itulah nama yang kuingat. Ternyata Tuhan masih sayang padaku. Aku dengan segera melayaninya. Bersemangat. Suasana pasar tidak akan pernah berubah. Penuh sesak manusia yang menghabiskan uangnya. Ribut oleh suara manusia yang sahut-menyahut. Berbaur dengan aroma tubuh manusia yang terpanggang panasnya mentari. Mentari yang kadang bersahabat dengan kita. Mentari yang kadang tak bersahabat dengan kita.
Belajen, Oktober 2008
0 comments