Teman Lupa (2)

Desember 21, 2014

Baca Juga


PING!!!

Notifikasi pesan di perangkat gawai tak henti berbunyi. Menandakan chatting teman-teman alumni sekolah dasar sedang mengobrol. Meskipun anggota di grup BBM itu masih berkisar 10 orang saja.

Akh, teman lama, ya? Saya jadi teringat segala kelucuan, keluguan, kepolosan, kebodohan, keisengan masa anak-anak dulu, ketika pertama kalinya mengenal mereka...

Sebagian besar anak-anak di masa kecilnya mungkin baru mempunyai banyak teman di saat usia menginjak sekolah dasar. Sebelum itu, bisa di taman kanak-kanak sih. Namun, tidak semua anak yang menginjak sekolah dasar pernah menikmati bersekolah di sana. Pun, sekarang, ada banyak teman saya yang tidak pernah merasai bersekolah di TK. Kalau di kota, banyak pula menjamur playgroup.

Padahal, di sekolah kanak-kanak itu, kesempatan untuk memenuhi hak dasar anak-anak: bermain. Di masa itu, saya bisa menggambar sepuasnya tanpa takut kekurangan crayon. Menyanyi dengan riang gembira, tanpa takut dianggap sumbang. Membuat origami, tanpa takut kekurangan kertas. Membangun bentuk mobil, kapal, rumah, orang, dengan plastisin. Lebih dari itu, semuanya dilakukan dengan teman-teman. Yah, meskipun terkadang jambak-jambakan, saling lempar, menangis, merengek, hanya gara-gara rebutan bahan. Namanya juga anak-anak…

Saya menganggap, sekolah dasar menjadi tempat sosial paling menarik untuk memperoleh banyak teman. Di sekolah, anak-anak mulai belajar bersosialisasi, mengenal satu sama lain. Anak-anak juga sedikit-demi-sedikit mulai belajar mandiri. Kalau di TK, antar-jemput orang tua masih terlihat lumrah. Memasuki usia SD, anak-anak mulai dituntut untuk pergi-pulang sekolah sendiri. Atau paling tidak, bersama teman-temannya.

Seperti halnya saya…

Sumber: gooogling

***

"Wah, sudah lama ya? Saya jadi tidak mengenal kalian lagi. Kalau dulu, kita masih bolokan (ingusan; bahasa daerah-red), sekarang pasti sudah pada cantik-cantik dan gagah-gagah,”

Long time no see!!

Saya tak lagi banyak mengingat segala rupa pertemanan di masa SD dulu. Hanya beberapa momen yang saya anggap paling istimewa atau unik yang bisa bertahan tak lekang di kepala saya. Lagipula, di masa-masa itu saya masih belum mengenal “se-gila” apa itu cinta. Masih polos. Masih bolokan. Jadi, belum tercemari urusan-urusan demikian. Hanya sebatas olok-olokan coretan pasangan nama yang menyertakan kata “Dan” sembari melingkarinya gambar hati. Sehabis itu diiringi seruan “Cieeee…cieeee…cieee!!”

Lucu membayangkan wajah polos anak-anak yang memberengut hanya karena namanya disandingkan dengan nama teman lawan jenisnya. Tak jarang ada yang sampai menangis. Hahaha…saya pernah nyaris melempar batu teman saya gara-gara gambar saya dikatai jelek.

“Dia yang mana? Itu termasuk teman seangkatan kita ya?”

Di atas kertas, saya mencoba menuliskan beberapa nama yang terangkai sebagai teman kelas dahulu. Satu tingkatan kelas, hanya ditampung satu ruangan. Satu guru, tidak hanya satu mata pelajaran.

Sekolah kami sederhana. Tapi masih jauh lebih beruntung dibanding sekolahnya Lintang di film Laskar Pelangi. Jumlah siswanya juga masih jauh lebih banyak dibanding sekolah di Belitong itu. Tak sampai 40 orang. Bisa dibilang, sekolah kami termasuk sekolah berprestasi di tingkat kabupaten. Tak urung, ruangan dan fasilitasnya lumayan lengkap, meski pas-pasan.

Ada perpustakaan, tempat saya berkenalan untuk pertama kalinya dengan majalah anak-anak Asyik. Saya senang melarikan satu-dua majalah keluar perpustakaan. Ada mushalla kecil. Ada kantin, yang bersebelahan dengan rumah dinas guru-guru kami. Ada kantor kepala sekolah. Ada ruang guru. Sekolah kami juga dilengkapi lapangan yang hanya seluas lapangan tenis. Setiap Senin menjadi tempat yang memadai untuk menggelar upacara bendera, acara yang paling membosankan seumur sekolah.

Dan tempat yang paling saya sukai ada di seberang lapangan itu. Pohon bunga kertas yang menjadi tempat nongkrong saya dan beberapa teman sekelas di waktu istirahat. Kami memanjatinya. Tidur selonjoran di atasnya, di sela-sela cabang yang tidak berduri. Tak lupa, bekal ngemil tersedia di tangan.

Apatah lagi, di samping pohon, terdapat sebuah kolam berukuran setengah lapangan badminton.  Di dalamnya terdapat miniatur kepulauan Nusantara. Kala hujan turun, tenggelamlah pulau-pulau itu beberapa senti dari permukaan. Kalau tak ada kerjaan, kami senang melompat di atasnya, dari pulau-ke pulau.

“Suatu hari nanti, saya akan kesini,” ujar salah seorang dari kami melompat ke pulau Jawa.

“Kalau saya disini!” yang lainnya tak mau kalah, melompat ke pulau yang lebih besar, Kalimantan.

Cop!! Saya disini!” teman yang lainnya melompat ke pulau paling kecil. Ia berdiri satu kaki di atasnya sembari meringis. Namanya anak-anak, mau dikata.

Hal-hal itu, tanpa kami sadari, sebenarnya menggariskan seberapa besar jalan hidup yang akan kami lalui. Tentang cita-cita, impian, dan segala hal yang ingin dijalani dengan baik atau biasa-biasa saja di masa depan kelak.

Kolam itu juga menjadi tempat berendam kaki kami di musim penghujan. Jalanan dari rumah ke sekolah selalu becek lantaran belum diaspal. Tak jarang kami bertelanjang kaki ke sekolah demi menghindari sepatu yang kotor. Setiba di sekolah, sepatu kami pakai lagi.

“Ada berapa orang dulu di kelas kita ya?”

Pastinya, saya lupa ada berapa orang dalam satu kelas kami kala itu. Sebagian nama lengkapnya juga ikut terlupa. Hanya tersangkut pada beberapa nama panggilan saja. Terlepas dari itu, mimik wajah kanak-kanak nama mereka masih jelas terekam di kepala saya.

Hanya saja… entah kini seperti apa raut dewasa mereka ketika sebagian besar diantara kami tak pernah bertemu lagi. Setiap orang yang usianya bertambah, ia bertumbuh, menyertakan separuh dirinya ikut berubah.

Wajah mereka, tak lepas dari kenakalan-kenakalan masa kecil. Akh, saya menyesal, kenapa di masa anak-anak dulu tidak menjadi “sedikit” nakal? Pernah suatu kali, nyaris semua teman kelas laki-laki pernah bersamaan mendapat hukuman. Persoalannya, seusai jam pelajaran olahraga, mereka berenang ke sungai yang tak jauh dari sekolah kami. Sementara sungai itu sudah menjadi blacklist di sekolah kami. Hanya saya dan seorang teman yang tidak mendapat hukuman karena tidak ikut. Wajar, hingga kini, saya tak tahu berenang. Padahal, kata orang, orang kampung biasanya paling pandai berenang.

“Iya. Mereka dulu itu kalau sudah sama-sama, pasti tak pernah lepas lagi. Kayak tiga serangkai, lucu,”

Saya punya beberapa teman yang di sekolah selalu bersama-sama. Melakukan segalanya sama-sama. Bahkan, bermain di luar jam sekolah pun selalu sama-sama. Mungkin, karena mereka merasa dari latar dan budaya yang berbeda.  Eh, eh, saya juga bukan orang “pribumi” malah.

“Bahkan, saya sudah tidak ingat seutuhnya lagi siapa teman-teman kita yang masih bertahan sampai ujian nasional dulu. Lucu ya momen kerja samanya,”

Betapa lucu dan menegangkannya momen ujian nasional yang pertama kalinya bagi usia kami. Wajar ingatan saya masih menggolongkan momen ujian rame-rame itu sebagai momen paling lucu dan unik. Gegara strategi menyontek kami yang nyaris ketahuan dan harus ditutupi dengan akal bulus “sakit perut” saya. Saya baru nyadar, sudah belajar ngeles sejak es-de dulu. Eh…

Sebelum ujian dilangsungkan, kami juga beramai-ramai membentuk kelompok belajar. Salah satunya, berpusat di rumah salah seorang teman kami. Jika tiba waktunya pulang, kami akan beramai-ramai mengantar teman yang rumahnya jauh. Kendaraan di kala itu masih sangat minim. Apalagi di malam hari. Kami bisa berjalan kaki sampai sejauh dua kilometer demi memulangkan teman perempuan yang takut pulang sendirian.

Kejadian paling lucu, pernah suatu kali di tengah perjalanan, kampung kami mengalami pemadaman listrik. Mendadak, kami ketakutan setengah mati, khususnya perempuan. Sebagian dari rombongan, yang laki-laki biasa-biasa saja kok. Segera saja teman-teman perempuan berpegangan pada kami, yang laki-laki. Begitu eratnya hingga membuat kami, para lelaki, tersenyum-senyum puas dan berlagak sok-sok melindungi malam itu.

Pengalaman ini masih membuat saya tersenyum sendiri, dan membangunkan cerita dengan teman-teman lelaki di waktu itu. Kami membanding-bandingkan, siapa-dipegang-siapa malam itu. Hahaha…gubrak!

Usia sekolah dasar kami ditutup dengan liburan ke Tana Toraja. Untuk pertama kalinya, di waktu itu, saya bisa berjalan-jalan ke tempat jauh. Hanya berjarak satu jam lebih ke arah utara dari sekolah kami.
Betapa kami menikmati momen selepas ujian nasional itu. Kerja keras kami terbayar lunas.

Kalau saja dokumentasi di zaman itu bisa semudah sekarang, mungkin saya bisa tersenyum-senyum mengenang memandangi foto kebersamaan kami. Memamerkannya di beranda facebook dan “memanggil” satu per satu mereka yang terlihat di foto. Akh, zaman itu kamera paling banter masih golongan kamera Kodak, yang harus dicuci-cetak dulu.

Kami, begitu senangnya diajak berkunjung ke Tator dengan segala pernak-pernik kebudayaan daerahnya. Keliling-keliling dan menjelajahi pekuburan batu Londa. Menyebur-nyebur di pemandian air panas, Wai Makula’.  Saya masih merasainya dalam bayang-bayang sampai sekarang; menyenangkan.

***

Terlepas dari itu, segalanya berakhir dengan ceria, tanpa air mata. Di masa itu, kami, anak-anak, belum mengenal keharuan dari arti perpisahan. Pertemanan di masa sekolah dasar hanya menjadi landasan untuk menemukan teman-teman baru lainnya, di titik selanjutnya. Kami menutup kisah, untuk memulai kisah lainnya.

Kami berpisah. Beberapa teman memutuskan sekolah di tempat baru. Satu-dua orang tak berminat melanjutkan sekolah. Mereka lebih memilih membantu orang tua bekerja.  Tetap saja dengan impian dan keinginan yang terpancang di dalam hati. Sebagiannya lagi masih tetap sama-sama menjalani keseharian, meski dengan sekolah yang sudah berbeda.

Jalan yang ditempuh pada akhirnya memang berbeda, dan terkadang melenceng dari impian awal. Tak jarang proses kehidupan justru membelokkan ke arah yang lebih baik. Sejatinya Tuhan selalu menunjukkan jalan yang terbaik. Kelak tiba saatnya, kami bercerita kembali sembari berdecak kagum atas hal-hal yang berubah dan mendewasakan kami.

Setiap orang yang usianya bertambah, ia bertumbuh, menyertakan separuh dirinya ikut berubah.

Akan tetapi, bagi saya, satu hal yang tak pernah berubah dari kami tentang masa itu, bahwa kami adalah TEMAN.

Selamanya.

“Kawan, kapan kita bisa bertemu dan ngumpul-ngumpul bareng?”

PING!!!

Sumber: googling


--Imam Rahmanto--

Ps:
Suprianto, Kusmawati, Agus, Nining, Reskiyarti, Nisniati, Imam Saleh, Masnur, Wenni, Ilham, Yusriana, Mutmainnah, Winda, Nurfadilah, Amri, Tison, Muharwati, yance, Herman Eli, Hasmiati, Novi, Reski van Putri, Angga, Jais, Asgar, Hasdiana, Indri, Zulkifli, Yuda,Firman Maharani, Ririn Velayati, Adi (alm), Ilyas, Fajar, Furqan, Jenal, Missy. 


Nah, dimana pun kalian berada, semoga kita berjumpa dalam keadaan terbaik.

You Might Also Like

2 comments

  1. Waaa.. Gilak. Aku sampai ngakak sendiri bacanya. Berasa nostalgia. Kolam nusantara di selokahmu keren tuh, mam. Dulu di sekolahku cuma ada kolam lele (buat perikanan) sama kolam pasir (buat lompat tinggi). Momen belajar kelompok juga aku pernah ngerasain. Aku yakin deh, semua orang punya cerita keren semasa SD, hahaha..
    Eh, itu list nama temanmu banyak juga ya. Dulu sekelasku sampai 40an anak. Tapi yang aku ingat paling 10..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha....soalnya udah sempat ngobrol sambil nyebut2 nama, Diaann... -_-

      Hapus