20# Terjegal Lagi

Oktober 23, 2014

Baca Juga


Kalau ada yang bertanya tentang kabar anak-pinak-calon-skripsi saya, secara meyakinkan saya akan menjawabnya, “Semua baik-baik saja.” Namun pada kenyataannya, banyak hal yang selalu berlaku di luar rencana kita, bukan? Nyaris mirip dengan orang-orang yang memilih menyembunyikan luka ketimbang menampakkannya kepada orang lain.

Saya tidak begitu mengeluhkan keribetan yang kerap kali menjadi momok bagi sebagian besar mahasiswa. Dosen pembimbing saya orang baik-baik. Salah satunya justru langsung meng-accepted proposal saya tanpa perlu mengoreksi isinya. Dia bahkan bersedia menandatangani apa pun sayang butuhkan ditandatangani olehnya. Saya jadi berpikir, bagaimana kalau sekali waktu saya menyetor rekening cek yang berjumlah jutaan rupiah? Hahaha…

Yang satunya lagi, malah menyarankan untuk segera mengajukan permohonan ujian, meskipun proposal yang telah saya setor padanya belum disentuhnya sedikit pun. Sekadar corat-coret untuk direvisi, saya meyakininya; belum. Sudah nyaris sebulan lamanya. Ergh...

“Aduh, saya belum periksa,” ujarnya setiap kali kami bertabrakan dan ia menjatuhkan buku yang dibawanya dan kemudian tangan saya bersentuhan dengannya dalam adegan slow-motion bertemu.

Ia sudah hafal benar saya sebagai anak bimbingannya. Oleh karena itu, sering kali, motivasi utama saya datang ke kampus hanya untuk “setor-muka” agar ia tersadar betapa lamanya proposal saya teronggok di ruang kerjanya.

“Kapan kamu mau ujian proposal?” tanyanya basa-basi.

Ia menghentikan langkahnya di selasar jurusan di saat menjumpai wajah saya yang cukup “manis”(?) untuk dikenali. Saya sedang duduk-duduk (menunggu) bersama teman lainnya. "Teman” disini adalah adik-adik junior di bawah angkatan saya. Di semester akhir begini, amat-teramat sulit menemukan teman-teman seangkatan di kampus. Sama sulitnya dengan mencari uang receh di tumpukan pakaian kotor. Sebagian besar sudah berbahagia dengan kehidupannya selepas kuliah. Nganggur, atau bekerja, hingga berkeluarga.

“Emm…secepatnya sih, Bu,” jawaban yang standar.

“Mungkin bisa kalau kau masukkan saja dulu format persetujuannya, biar nanti saya tanda tangani,” lanjut pembimbing saya.

Tuh kan! Pembimbing saya baik-banget. Dia tidak ingin mengekang mahasiswa bimbingannya terlalu lama di kampus. Tapi...

Saya pikir tak segampang itu. Proposal penelitian yang tak direvisi dalam proses konsultasinya dengan para pembimbing bukan berarti dalam keadaan “baik-baik saja”. Justru kebalikannya. Kalau koreksi hanya kecil-kecilan di proses konsultasi dengan pembimbing. Maka di ujian nanti, bisa jadi para penguji yang akan “mengoreksi” besar-besaran. Ckck…

Seminggu lalu, saya ogah-ogahan masuk kampus. Dalam benak saya sudah terpatri bahwa proposal saya pasti belum diperiksa oleh pembimbing yang satu itu. Agak malas juga harus duduk-duduk sepanjang siang di jurusan hanya untuk menunggu satu-dua orang dosen, yang sering kali lupa bahwa ada yang sedang menunggunya.

Baru di minggu ini saya kembali gigih “maen” ke kampus. Saya, lagi-lagi, harus menyesuaikan diri dengan nuansa kampus agar tak kehilangan ruh-nya. Semakin sering saya menjauhi kampus, maka semakin mudah pula setan akan menggoda saya dengan kesibukan-kesibukan di luar sana.

Sumber gambar: 1cak.com

Seorang teman baru-baru ini bertanya pada saya,

“Mam, ada nggak temenmu yang susah buat mulai penelitian? Kalau kayak gitu, gimana ngedorongnya?”

Salah satu sahabatnya sama sekali belum berproses pada penyelesaian studinya. Bahkan, menurut dia, semester kemarin sahabatnya itu absen ke kampus. Waduh! 

Seandainya mau masa bodoh, saya pasti juga bakal melakukan hal yang sama. Kesibukan-kesibukan selepas kuliah terasa memanggil-manggil di luar sana. Apalagi kalau kita sudah punya pekerjaan yang lebih “menghasilkan”. Ijazah terasa asing lagi. Sebagian besar pekerjaan keren kan memang tak butuh ijazah kuliah. Karena pun menyadari, ketika saya terbiasa tidak ngampus, lamat-lamat saya akan melupakan kampus sampai isi-isinya.

Wajar, dalam tahap penyelesaian studi ini, metode "maksa-ngampus" adalah hal utama. Bagi saya, untuk menumbuhkan minat nye-kripsi, harus dibiasakan ngampus dulu. Analoginya seperti calon dokter. Dibiasakan dulu membaui aroma obat-obatan, melihat darah, dan semacamnya, baru bisa jadi dokter. Jauhh!!

Saya kerap menghubungi teman-senasib-lainnya untuk ngampus. Tak peduli jika hanya sekadar jalan-jalan tanpa arah di lorong-lorong jurusan. Duduk menatap kosong pada setiap orang yang lewat. Memilah satu-satu sambil ngarep, ada ndak yah teman seangkatan saya yang senasib? Atau bahkan sekadar menimbang-nimbang maba-cewek yang melintas; beautiful or not. Intinya, ya, merasakan suasana kampus dulu lah. Alah bisa karena terbiasa. 

Pepatah Jawa mengatakan, Weting Tresno Jalaran Soko Kulino. Cinta tumbuh karena terbiasa. Cinta pada skripsi tumbuh karena terbiasa ngampus. Halahh…

Seribet-ribetnya pembimbing, selalu ada titik kelemahannya. Ngampus juga bisa memberikan banyak petuah bagi kesulitan-kesulitan proses itu. Ada teman-teman yang berpengalaman menyelesaikan studinya. Ada pula mereka yang sekadar mendengar desas-desus, namun selalu menyemangati untuk selalu berjuang. Tak jarang ada yang justru menawarkan pertolongan. #terharu. Semuanya patut dipelajari.

Serius loh. Di kala saya sedang tak bersemangat dengan proses penyelesaian akhir itu, justru teman-teman itu yang selalu menyemangati. Karena ngampus tak pernah bikin mampus.

Nah, Tuhan, saya sudah berusaha, meski saya sadar seminggu kemarin dan kini belum maksimal. Tapi Engkau Maha Melihat ke dalam hati setiap hamba-Mu, bukan? Emm..kini saya akan berusaha sekuat hati dan tenaga. Selebihnya, saya selalu percayakan pada-Mu. Just believe it! 

***

“Nanti hari Jumat, yah,” pesan pembimbing terakhir kali saya berjumpa dengannya, Rabu kemarin.

Tak masalah. Kini, duduk-duduk sendirian menunggu dosen tak lagi membosankan. Saya menemukan hobi baru. Saya mengisi waktu menunggu itu dengan mencorat-coreti lembaran blocknote saya. Doodling. Hasilnya? Kapan-kapan lah saya pamer disini. (*)


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments